Senin, 29 Juni 2009

KRISIS MONETER DILIHAT DARI TEORI HUKUM EKONOMI

Oleh : Sugiaryo

Pendahuluan

Situasi moneter dan perekonomian saat ini dalam kondisi memprihatinkan, karena sebagian besar masyarakat dunia menghadapi kesulitan. Keprihatinan tersebut ditandai oleh besarnya jumlah pengangguran sebagai akibat dari lesunya kegiatan ekonomi sehingga PHK terhadap tenaga kerja terjadi dimana-mana. Keadaan ini menyebabkan tingkat pendapatan penduduk semakin menurun atau kemelaratan semakin meluas. Hal ini berakibat daya beli masyarakat semakin lemah dan secara kumulatif melumpuhkan sebagian besar kegiatan ekonomi. Rendahnya daya beli masyarakat, juga terjadi karena masih tingginya tingkat inflasi.

Lesunya kegiatan ekonomi tidak hanya dialami oleh penguasa kecil dan menengah tetapi juga dialami oleh pengusaha besar. Penguasa kecil dan menengah menghadapi kesulitan, selain lesunya pasar juga karena kenaikan harga yang cepat sehingga sulit melakukan kalkulasi ongkos produksi. Lesunya kegiatan ekonomi yang dialami oleh pengusaha besar disebabkan karena jeratan utang luar negeri.

Keadaan tersebut diatas menimbulkan gejolak yang menyebabkan suatu distress dan melalui dampak penularan yang sistemik (kontagion effects) menjadi krisis. Krisis ini semula terjadi di sektor keuangan perbankan (moneter) kemudian melebar menjadi krisis ekonomi, yang secara sistemik melebar menjadi krisis sosial, politik, dan akhirnya krisis kepemimpinan[1]. Pertanyaannya adalah mengapa terjadi krisis moneter?, faktor-faktor apa saja yang menjadi penyebabnya?, adakah hubungan antara krisis moneter dengan teori hukum ekonomi?, serta bagaimanakah upaya penyembuhann terhadap adanya krisis moneter tersebut. Untuk menjawab pertanyaan tersebut diatas, pada makalah ini secara berturut-turut akan dibahas : Krisis moneter dan faktor penyebabnya, teori hukum ekonomi, keterkaitan krisis moneter dengan teori hukum ekonomi serta upaya penyembuhan terhadap krisis moneter.

Krisis Moneter dan Faktor Penyebabnya

Pada dasarnya krisis adalah merupakan akibat dari gejolak finansial atau ekonomi dalam perekonomian yang mengidap rawanan[2]. Kerawanan perekonomian dapat terjadi karena unsur-unsur yang pada dasarnya bersifat internal, seperti kebijaksanaan makro yang tidak suistainable, lemahnya atau hilangnya kepercayaan terhadap mata uang dan lembaga keuangan dan ketidakstabilan politik, atau yang berasal dari faktor eksternal, seperti kondisi keuangan global yang berubah, misalignment dari nilai tukar mata uang dunia (Dollar dengan Yen) atau perubahan cepat dari sentimen pasar yang meluas karena herd instinet dari pelaku dunia usaha.

Paul Krunger menggambarkan model pembangunan sebagai kapitalisme perkoncoan dimana Indonesia termasuk didalamnya. Jadi penyebab utama krisis bersumber dari dalam negeri (internal)[3]. Model pembangunan kepitalisme perkoncoan ini, akan mudah tejadi kolusi, korupsi, koncoisme dan nepotisme, atau dikenal dengan istilah KKN. Pelaksanaan model ini, di Indonesia menyebabkan presiden Soeharto pada waktu itu dikelilingi oleh unsur-unsur cycophant, yes-men, family, and cronies (penjilat, bapak senang, keluarga, dan konco-konco)[4].

Jeffry Sach menyatakan bahwa krisis moneter disebabkan oleh adanya sikap panik dari para pelaku usaha. Sikap panik ini dapat dilihat dari cepatnya reaksi para pengusaha, terlebih lagi investor asing yang bremain di pasar modal, ketika terjadi gejolak peso, baht, ringgit, dan terdepresiasinya rupiah terhadap US Dollar. Mereka segera menjual sahamya di pasar modal untuk kemudian menukarnya dengan Dollar dan memindahkanya ke negara lain[5]. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Yasraf Amir Piliang, juga menyatakan bahwa gejolak moneter yang melanda Amerika Serikat saat ini, juga disebabkan oleh adanya sikap panik dari para pelaku usaha[6]. Kepanikan ini tercermin pada kekacauan bursa saham, harga saham bertumbangan, para pialang mengalami shock, nasabah menyerbu bank, nilai tukar mata uang anjlok, kucuran dana pembangunan tersendat, transaksi perdagangan dihentikan, otoritas pemerintah kehilangan akal, dan urat nadi perekonomian global terancam bangkrut.

Krisis moneter yang melanda di Indonesia pada tahun 1998, sebenarnya merupakan imbas dari apa yang terjadi di Thailand. Mata uang Thailand atau Baht terpukul oleh serangan sepekulan. Perdana Menteri Thailand Chavalit Yon Chaiyudin (waktu itu menyatakan tidak kan mendefaluasi Baht). Nilai mata uang Baht diimbangkan terhadap Dollar, akibatnya nilai tukar Baht jatuh tajam terhadap Dollar, yakni dari 25 menjadi 56 Baht per 1 Dollar AS. Pasar saham Thailand, jatuh 75% pada tahun 1997. Finance one, perusahaan keuangan terbesar di Thailand bangkrut pada 20 Agustus 1997 Internasional Monetery Fund (IMF) menyetujui memberikan paket dana talangan sebesar 3,9 Milyar Dollar AS[7].

Krisis moneter di Thailand, yang ditandai dengan anjloknya nilai Baht terhadap Dollar berimbas ke rupiah. Nilai rupiah juga anjlok terhadap Dollar. Kepanikan semakin menjadi, ketika perusahaan yang tadinya banyak meminjam Dollar (ketika nilai tukar rupiah kuat) kini sibuk membeli Dollar untuk membayar bunga pinjaman mereka yang telah jatuh tempo dan harus dibayar dengan Dollar. Selanjutnya IMF datang dengan paket bantuan 23 Milyar Dollar. Bantuan ini tampaknya tidak mampu memperbaiki keadaan. Malahan berakhir menambah beban hutang yang harus ditanggung oleh rakyat Indonesia, karena penggunaanya banyak terjadi penyelewengan. Akibatnya inflansi dalam negeri Indonesia meningkat tajam. Sehingga sembakao maupun kebutuhan lain juga semakin melonjak naik berlipat ganda. Krisis ini memuncak ketika pada Mei 1998 Presiden Soeharto dipaksa mundur, setelah sebelumnya terjadi berbagai kerusuhan. Mundurnya Soeharto ini diperkirakan dapat meredakan krisis akan tetapi juga tidak dapat berhasil. Rupiah tetap bertahan sekitar Rp. 11.000/Dollar. Kecenderungan melemahnya rupiah semakin menjadi ketika terjadi penembakan mahasiswa Trisakti pada tanggal 12 Mei 1998 dan aksi penjarahan 14 Mei 1998. Kurs Rupiah terjun bebas mencapai Rp. 17.000/Dollar AS paling rendah dalam sejarah.

Krisis moneter yang terjadi di Amerika Serikat sejak pemerintahan George Bush, memuncak ketika bank-bank di Amerika Serikat harus menerima kenyataan tejadinya kredit macet dalam bidang perumahan, sekitar 5 Triliyun Dollar, yang mengguncang perekonomian Amerika Serikat. Bursa saham di Amerika Serikat dan negara-negara maju lainnya terguncang terjadi penurunan drastis, Indonesia terkena imbasnya. Bursa saham di Indonesia juga mengalami penurunan nilai tukar rupiah terhadap Dollar AS. Kekawatiran banyak banyak pihak, krisisi ini akan menyebabkan terulangnya kembali krisis pada tahun 1997-1998. namun kenyataanya, krisis ini tidak (atau belum) menimbulkan kepanikan terhadap kehidupan masyarakat. Harga-harga sembakao relatif stabil tidak menampakkan kenaikan, bahkan kebutuhan pokok serta minyak goreng, kedelai mengalami penurunan. Apalagi didukung dengan menurunya harga minyak di pasaran dunia.

Teori Hukum Ekonomi

Teori hukum adalah mengkaji pengertian-pengertian asas yang terkandung di dalam hukum positif tertentu[8]. Ruslan Saleh, menyatakan teori hukum adalah cabang ilmu pengetahuan hukum yang mempelajari berbagai aspek teoritis maupun praktis dari hukum positif tertentu secara tersendiri dan dalam keseluruhan nya secara interdespliner, yang bertujuan memperoleh pengetahuan dan penjelasan yang lebih baik, lebih jelas dan lebih mendasar mengenai hukum positif yang bersangkutan[9].

John Austin, menggolongkan teori hukum ke dalam dua macam, yaitu : Ekpositorial Jurisprudence, yaitu mengkaji hukum sebagaimana adanya (as it is) dan Censorial Jurisprundence, yaitu mengkaji hukum sebagaimana seharusnya (as it right to be)[10]. Salmon mengemukakan penggolongan yang berbeda, yakni Analytical Jurisprundence, yaitu analisis dari prinsip-prinsip utama hukum tanpa memperhatikan aspek historis maupun aspek etisnya, dan Historical Jurispridence, yaitu studi tentang perkembangan konsep hukum yang fundamental[11]. Philipus M. Hadjon mengemukakan bahwa teori hukum adalah merupakan ilmu eksplanasi hukum yang sifatnya interdisipliner. Eksplanasi dalam teori hukum sifatnya eksplanasi analisis. Sedangkan sifat interdisipliner dalam bidang kajian teori hukum meliputi : analisis bukan hukum, ajaran metode hukum, metode keilmuan, dogmatika hukum dan kritik ideologi hukum[12].

Sehubungan dengan ruang lingkup dan fungsunya, teori hukum diartikan sebagai ilmu dalam perspektif interdisipliner dan eksternal yang mana secara kritis menganalisis berbagai aspek gejala hukum, baik dalam konsepsi teoritisnya maupun manifestasi praktis[13]. Olah karena itu tidak mengherankan cabang-cabang ilmu seperti sosiologi, psikologi, dan athropologi telah memberikan sumbangan yang penting bagi perkembangan ilmu hukum. Bahkan beberapa ahli berpendapat bahwa prinsip-prinsip ekonomi dapat memberikan cara terbaik untuk mendeskripsikan, menjelaskan, dan menilai beberapa aturan dari suatu sistem hukum positif[14]. Dengan demikian prinsip-prinsip ekonomi dapat memberikan deskripsi tentang aturan-aturan hukum, menjelaskan mengapa masyarakat memilih peraturan tersebut, dan mengevaluasi peraturan-peraturan itu dan menentukan peraturan mana yang harus dimiliki oleh masyarakat[15]. Niccolo Machiavelli dala karyanya ”The Prince” adalah penulis pertama yang menyusun kebijakan ekonomi dalam bentuk nasihat. Dia melakukanya dengan menyatakan bahwa para bangsawan dan republik harus membatasi pengeluarannya, dan mencegah penjarahan oleh kaum yang punya maupun oleh kaum kebanyakan. Dengan cara itu, maka negara akan dilihat sebagai ”murah hati”, karena tidak menjadi beban berat bagi warganya[16]. Francis Bacon, salah seorang perintis merkantilism berpendapat bahwa seharusnya mengekspor barang lebih banyak dibandingkan jumlah yang diimpor sehingga luar negeri akan membayar selisihnya dalam bentuk Precions Metals. Merkantilistis juga berpendapat bahwa bahan mentah yang tidak dapat ditambang dari dalam negeri maka harus diimpor dan mempromosikan subsidi seperti penjaminan monopoli protective tariffs, untuk meningkatkan produksi dalam negeri dari manufactured goods[17]. Richard Cantillon, seorang sejarawan ekonomi yang dijuluki bapak ekonomi dalam tulisannya yang berjudul ”Essay on the natural Commeerce in General”, menekankan pada mekanisme otomatis dalam pasar yakni panawaran dan permintaan, peran vital dari kewirausahaan, dan analisis inflansi moneter ”Pra Austrian”, yang cangih yakni tentang bagaimana inflansi bukan hanya menaikkan harga tetapi juga mengubah pola pengeluaran[18]. Adam Smiths, dalam bukunya ”The wealth of nations”, menjelaskan bahwa persaingan adalah kekuatan yang tidak terlihat, industrial capitalism, memberi kemungkinan bagi akumulasi modal yang luas, menyatakan kebebasan universal atau kebebasan alamiah serta pasar modal adalah awal kemakmuran[19]. Karl Marx, menggabungkan berbagai aliran pemikiran, dengan mengktitik ekonomi pasar. Karl Marx menginginkan kemajuan tetapi membenci kaum kapitalis, sifatnya sama rata-sama rasa, kapitalis merupakan cacat alamiah, hanya mengeksploitasi buruh, menentang mesin dan teknologi, karena dapat menyebabkan pengangguran[20]. John Maynard Keynes dalam karyanya yang berjudul ”General theory of Employ ment, interest and money”, mengemukakan gagasanya tentang keberadaan central banking dan campur tangan pemerintah dalam hubungan ekonomi, ia juga menyampaikan kritik terhadap ekonomi klasik dan juga mengusulkan metode “managenent of aggregate demand”[21].

Keterkaitan Krisis Moneter Dengan Teori Hukum Ekonomi

Sebelum membahas keterkaitan krisis moneter dengan teori hukum ekonomi, maka untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas mengenai keterkaitan dari kedua hal tersebut, perlu kiranya dipaparkan secara kronologis terjadinya krisis moneter di Indonesia tahun 1998 dan krisis moneter di Amerika Serikat tahun 2008.

Sebelum krisis, ekonomi Indonesia tumbuh sangat pesat pendapatan per kapita meningkat dua kali lipat antara tahun 1990 dan 1997. Perkembangan ini didukung oleh kebijakan moneter yang stabil, dengan tingkat inflansi dan bunga yang rendah, nilai tukar rupiah terkendali rendah, dengan APBN yang berimbang serta kebijakan ekspor yang tidak saja tergantung pada sektor migas. Kesuksesan ini disatu pihak menimbulkan optimistis dan di lain pihak menimbulkan keteledoran. Kesuksesan pembangunan ekonomi di Indonesia memukau para kreditur asing yang menyediakan kredit tanpa batas dengan tidak meneliti terhadap proyek-proyek yang diberi kredit. Selain itu kegiatan ekonomi didalam negeri juga lepas dari pengawasan. Kredit jangka pendek diinvestasikan dalam jangka panjang. Sementara itu terjadi pula perombakan drastis dalam strategi pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi yang selama ini adala state and goverment led beralih menjadi led by private inisiative and market. Hutang pemerintah turun dari USD 80 Milyar menjadi USD 50 Milyar diakhir tahun 1996. Sementara hutang swasta membubung sangat cepat, yakni pada awal 1996 sebasar USD 15 Milyar dan diakhir tahun 1996 menjadi USD 75 Milyar. Dalam waktu yang sangat cepat bertebaran Bank-Bank Swasta di tanah air. Privatisasi/swastanisasi berjalan terus tanpa kendali dan penuh KKN. Maka ketika diserang krisis mata uang, situasi kondisinya belum siap, terutama dunia perbankan. Sehingga terjadilah krisis moneter yang kemudian menjadi krisis ekonomi dan selanjutnya meluas menjadi krisis sosial. Restrukturisasi perbankan tidak mempan, sektor finansial tetap memburuk. Dampaknya adalah pengangguran meningkat, kemiskinan merajalela, utang nasional menumpuk. Sektor tradisional/informal yang selama ini dianggap penghambat pertumbuhan ekonomi, memainkan peran yang cukup berarti karena dapat menggantikan sektor ekonomi modern yang ambruk. Mereka yang di PHK, dengan semangat kekeluargaan tertampung disektor tradisional/informal[22].

Gejolak moneter yang melanda di Amerika Serikat seperti yang telah dikemukakan pada pembahasan sebelumya bahwa tidak saja menggoncang sendi-sendi ekonomi Amerika Serikat, tetapi juga menimbulkan kepanikan global. Hal tersebut tercermin pada kacaunya bursa saham, harga saham bertumbangan, para pialang mengalami shock, investor dilanda kepanikan, nasabah menyerbu Bank nilai tukar mata uang anjlok, kucuran dana untuk pembangunan tersendat, transaksi perdagangan dihentikan, otoritas pemerintah kehilangan akal, dan urat nadi perekonomian global terancam bangkrut.

Gejolak moneter di Amerika Serikat adalah konsekuensi dari sistem perekonomian ”pasar bebas dan ideologi (neo) liberalisme”. Sistem pasar bebas dengan minimalisme pengendalian negara setidaknya mengasilkan empat watak kultural: 1) orbital, berupa perputaran ekonomi moneter yang mengglobal; 2) virtual, dengan sektor moneter yang bersifat maya; 3) viral, dengan penjalaran efek ekonomi yang cepat bak virus; dan 4) banal, dengan sistem ekonomi yang merayakan konsumerisme remeh-temeh.

Jean Baudrillard dalam Fatal Strategis (1990) menggambarkan kondisi kultural ekonomi macam itu melalui metafora kosmologi ”orbit” (orbital). Sistem moneter layaknya sebuah orbit, yaitu garis edar mata uang berputar mengelilingi ”sektor riil” sebagai titik pusat orbit, tetapi terpisah darinya. Bisnis keuangan berlangsung di sektor moneter, tanpa bersentuhan dengan sektor riil. Triliunan dollar AS diperjualbelikan di pasar modal, tetapi hanya sebagian diputar di sektor riil.

Dalam sistem ekonomi itu, peran mata uang terlalu besar, mendeterminasi fluktuasi ekonomi. Sementara sistem moneter sendiri kini bersift virtual, dengan sistem virtual money dan perputaran kian cepat dan real time. Hazel Henderson dalam Paradigms ini Progress: Life Beyond Economics (1991) menyebutkan, percepatan sistem moneter meningkatkan ketidakpastian, indeterminasi, dan turbulensi ekonomi, yang rentan tehadap resiko krisis, kemacetan, bahkan kehancuran.

Kondidi kesaling terhubungkan dalam kesaling tergantungan global telah menciptakan budaya ekonomi global sebagai “jejaring terbuka” (open network) – laaknya jejaring internet – yang rawan teradap serangan virus spekulasi dan kemacetan. Serangan virus (kemacetan likuiditas) disebuah tempat (seperti AS) dengan cepat menjalar ke seluruh jejaring global tanpa ada yang tersisa. Inilah “efek kupu-kupu” (buttefly effect) dalam jaringan chaos sistem ekonomi pasar bebas yang rentan.

Celakanya, sistem ekonomi moneter itu amat tergantung pada “sistem konsumsi”, khususnya konsumsi barang mewah dan banal, sebagai “alibi” agar modal terus berputar dan berakumulasi. Sistem ekonomi merayakan gaya hidup konsumerisme yang bersifat banal: kemewahan, lifestyle shooping, dan hiperkomoditi. Sebaliknya, segala kemewahan itu bergantung pada kondisi moneter karena produk mewah diproduksi melalui uang bank. Inilah “lingkaran setan” ekonomi moneter.

Gejolak moneter tidak saja mengguncang fondasi ekonomi global, tetapi mengangkat kembali masalah “etika kapitalisme”. Bencana krisis moneter adalah buah tindak ekonomi yang terlepas dari etika sosial. Padahal, tindak ekonomi seharusnya dilandasi etia sosial karena terkait masalah hak, kebebasan, keutamaan (virtue), kepercayaan (trust), dan tanggung jawab. Dalam kondisi krisis, pengabaian etika sosial kian dirasakan efeknya.

Etika liberalisme ekonomi, khususnya di AS, menurut Paul Tillich dalam The Corange to Be (1980), dicirikan oleh etika “keberanian eksperimen” dan “berspekulasi”. Setiap individu bebas bereksperimen dan berspekulasi tentang apapun; siap menghadapi segala “resiko”, “kegagalan”, “krisis” dan “bencana” (katastrofe), dan kegagalan tak menyurutkan “keberania” (courage). Inilah etika “keberanian individualistik – liberal”.

Namun, dalam sistem “ekonomi jejaring” (network economy), dimana pelaku ekonomi saling terhubung dan bergantung secara global, etika “keberanian spekulasi” individual saja tidak cukup, harus disertai etika “keberanian bertanggung jawab” secara sosial (courage of responsibility). Ironisnya, dalam sistem jejaring ekonomi liberal, orang lebih mudah melempar tanggung jawab karena minimnya etika sosial dan kebersamaan, seperti ditunjukkan Direktur Lahman Brothers Richrd Fuld.

Ekonomi yang telah bertransformasi menjadi semacam “dromonomik” (dromononics), yaitu “sistem ekonomi gerak cepat” (dromos = berlari kencang) dan “megalonomik” (megalonomics), yaitu “ekonomi serba raksasa” menggiring pada situasi dimana kecepatan dan “keraksasaan” telah diluar kendali manusia, yang menyebabkan orang kehilangan kontrol akibat kelengahan, data yang keliru, umpan balik terlambat, informasi tak memadai, atau respons terlalu lambat.

Institusi ekonomi yang merayakan “keutamaan individualistik” mengabaikan “aneka keutamaan sosial”, seperti tanggung jawab, kebersamaan, dan keadilan sosial. Alasdair Maclntyre dalam vurtue (1999) mengatakan, institusi tanpa keutamaan sosial akan keropos, korupsi, dan rentan penghancuran diri sendiri (self-desruction). Disana mudah disembunyikan kesalahan, kebodohan, dan kegagalannya dibalik “kambingb hitam jaringan” yang terlanjur rusak pula.

UPAYA PENYEMBUHAN TERHADAP KRISIS MONETER

Dochak Latief [23] mengemukakan bahwa terdapat beberapa kebijakan yang dirasa sangat penting untuk mengatasi krisis moneter, diantaranya adalah: (1) mengembalikian kepercayaan pemerintah. Hal ini merupakan persyaratan pokok untuk efektifnya kebijakan pemerintah baik dibidang ekonomi, politik, (2) perombakan model pembangunan, (3) merubah perimbangan kebijakan ekonomi luar negeri dan dalam negeri secara lebih berimbang untuk mengurangi ketergantungan pada ekonomi global dan memanfaatkanya secara maksimal, (4) serta perbankan jelas perlu segera disehatkan dengan tetap menjaga keseimbangan dengan sektor keuangan yang lain, namun tidak sampai mengorbankan kepentingan rakyat banyak, (5) kebijakan yang berkait dengan usaha mewujudkan kurs yang stabil. Ada tiga alternatif yang ditawarkan yang kiranya sama berisiko tinggi, yaitu sistem devisa bebas seperti Indonesia sekarang ini, kontrol devisa secara penuh atau sistem bebas terkendali seperti sebelum krisis ekonomi, (6) menyelesaikan permasalahan pri dan non pri, kaitanya dengan usaha memperbaiki hubungan yang lebih rasionil dan objektif yang memungkinkan terjadinya pengaturan untuk kerjasama saling menguntungkan seperti dilaksanakan di Malaysia dengan The New Economic Policy.

Soedrajad Djiwandono[24] mengemukakan bahwa yang: Pertama kali agar bangsa dapat keluar dari krisis yang melanda kehidupan ekonomi, sosial dan politik adalah dengan cara menghentikan Hemorr hage yang terus berlangsung selama ini. Kedua, perlu adanya kestabilan politik, perlindungan hukum dan jaminan terhadap HAM, bagi pelaku pasar. Ketiga, kebiasaan dalam prakte-praktek yang tidak mendukung pembangun yang berkesinambungan (sustainable) harus dihidarkan. Semua pelaku harus memperhatikan prinsip kehati-hatian. Keempat, secara individual maupun secara keseluruhan kegiatan dari pelaku pasar dan masyarakat luas harus menyesuaikan diri dengan kemampuan. Kelima, bagi pelaku dunia usaha swasta perlu ada kesadaran hukum bahwa masalah ekonomi yang kita hadapi dewasa ini sering dikataka timbul bukan karena anggaran pemerintah yang kurang tetapi sektor swasta yang kurang prinsip kehati-hatian (ekspansi yang berlebihan pada proyek-proyek yang kurang produktif), cenderung menimbulkan Bubbles yang mudah busting, dengan sumber pembiayaan yang beresiko tinggi dalam bentuk pinjaman jangka pendek dari luar untuk pembiayaan proyek yang kurang produktif yang berjangka panjang. dan Keenam, memerangi praktek KKN, hal ini bukan hanya dijadikan slogan saja.

Didik. J Rachbini[25] mengemukakan bahwa dalam rangka menagatasi krisis yakni dengan menerpkan ekonomi kerakyatan tetapi ridak boleh bersifat isolatif terhadap ekonomi global. Daniel Bell, sosiolog dari Harvard mengatakan bahwa pembangunan ekonomi, politik dan sosial akan menjadi semakin global dan saling terkait antar satu negara nengan negara yang lain, hal ini menunjukkan bahwa masalah pembangunan ekonomi bukan hanya menjadi milik satu negara atau sekelompok negara dalam satu kawasan tertentu saja, melainkan merupakan tanggung jawab yang harus diselesaikan secara bersama.

Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan tersebut diatas dapat dikemukakan kesimpulan sebagai berikut:

  1. Krisis moneter adalah merupakan akibat dari gejolak finansial atau ekonomi dalam perekonomian yang mengidap kerawanan.
  2. Kerawanan perekonomian terjadi karena dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal antara lain adanya kebijakan makro yang tidak sustainable, lemahnya atau hilangnya kepercayaan terhadap mata uang dan lembaga keuangan serta adanya ketidakstabilan politik, adanya KKN. Faktor eksternal antara lain berupa kondisi keuangan global yang berubah, misaligment dari nilai tukar mata uang dunia atau perubahan cepat dari sentimen pasar yang meluas karena herd instinet dari pelaku dunia usaha, keserakahan sektor modern akan kredit dan sebagainya.
  3. Dilihat dari teori hukum ekonomi terjadinya krisis moneter disebabkan karena penerapan teori hukum ekonomi yang tidak konsisten dan/atau penerapan hukum ekonomi yang kurang memperhatikan situasi dan kondisi internal dalam negara yang bersangkutan. Selain itu masing-masing teori ekonomi mengandung kelemahan yang mana kelemahan tersebut kurang menjadi perhatian.
  4. Dalam upaya mengendalikan terjadinya krisis tidak perlu diadakan dokotomii antara teori ekonomi tradisional dengan teori ekonomi modern melainkan harus diintegrasikan.

Daftar Pustaka

Benard Arif Shidarta, Refleksi Tentang Standar Ilmu Hukum,Mandar Maju, Bandung, 2007.

Berfield dan Jose Manuel T Soro, Asian week, 28 Januari, 1998.

Chatamarasjid, Hubungan Teori Hukum dengan Cabang-cabang Ilmu Pengetahuan yang lain, Bahan kuliah program Doktor Ilmu Hukum, Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 18 September 2000.

-----------------, Peranan Hukum Dalam Pembangunan Ekonomi, Bahan Kuliah Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2008.

Didik. J Rachbini, Khasanah Pemikiran Ekonomi Indonesia, LP3ES, Jakarta, 1998.

Dochak Latief, Pembangunan Ekonomi dan Kebijakan Ekonomi Global, Muhammadiyah University Press, Surakarta, 2001.

------------------, Pembangunan Ekonomi dan Kebijakan Ekonomi Global, UMS Press, Surakarta, 2001.

Frans Seda, Krisis Moneter Indonesia (makalah pada seminar nasional di Universitas Widya Mandala Surabaya, 21 Juni 2001).

Khomariddin Hidayat, Yasraf Amir Piliang, Kosmologi Krisis Moneter, Kompas, 10 November 2008.

Kotler Philip, The Marketing of Nation, the free Press, New York, 1997.

Lili. Rasjidi, Ira Thania Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum, Penerbit Mandar Maju, Bandung, 2007.

Philipus M.Hadjon dan Tatiek Sri Djamiati, Argumentasi Hukum, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2005.

Soedradjad Djiwandono, Krisis dan Pembaharuan Ekonomi Moneter,(makalah seminar pembaharuan bangsa oleh forum bakti kristiani), Jakarta, 17 Juni 1998.

http://www.gemadepok.com/index.php.mod, diakses 14 Pebruari 2009.

http://id.wikipedia,org/wiki/sejarahekonomi,diakses 15 Pebruari 2009.

http://mutiarakeadilan.blogspot.com/2008/01/hukum-ekonomi.html, diakses 15 Pebruari 2009

http://id.wikipedia.org/wiki/sejarahteori ekonomi, diakses 15 Pebruari 2009

KRISIS MONETER DILIHAT DARI TEORI HUKUM EKONOMI




Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Teori Hukum

Pengampu :

Prof. Dr. Chatamarasjid SH, MH

Oleh :

Sugiaryo

NIM. T310908009

PROGRAM DOKTOR ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2009



[1] Soedradjad Djiwandono, Krisis dan Pembaharuan Ekonomi Moneter,(makalah seminar pembaharuan bangsa oleh forum bakti kristiani), Jakarta, 17 Juni 1998. h. 3.

[2] Ibid.

[3] Dochak Latief, Pembangunan Ekonomi dan Kebijakan Ekonomi Global, Muhammadiyah University Press, Surakarta, 2001, h. 28.

[4] Berfield dan Jose Manuel T Soro, Asian week, 28 Januari, 1998, h.16.

[5] Khomariddin Hidayat, Zero Trust Society, Kompas, 18 September 2000.

[6] Yasraf Amir Piliang, Kosmologi Krisis Moneter, Kompas, 10 November 2008.

[8] Chatamarasjid, Hubungan Teori Hukum dengan Cabang-cabang Ilmu Pengetahuan yang lain, Bahan kuliah program Doktor Ilmu Hukum, Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

[9] Ibid.

[10] Lili. Rasjidi, Ira Thania Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum, Penerbit Mandar Maju, Bandung, 2007, h. 35.

[11] Ibid.

[12] Philipus M.Hadjon dan Tatiek Sri Djamiati, Argumentasi Hukum, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2005, h. 5.

[13] Benard Arif Shidarta, Refleksi Tentang Standar Ilmu Hukum,Mandar Maju, Bandung, 2007, h.122.

[14] Ibid.

[15] Chatamarasjid Ais, Peranan Hukum Dalam Pembangunan Ekonomi, Bahan Kuliah Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2008.

[17] Kotler Philip, The Marketing of Nation, the free Press, New York, 1997, h. 98.

[18] Ibid.

[20] Ibid.

[21] http://id.wikipedia.org/wiki/sejarahteori ekonomi, diakses 15 Pebruari 2009

[22] Frans Seda, Krisis Moneter Indonesia (makalah pada seminar nasional di Universitas Widya Mandala Surabaya, 21 Juni 2001).

[23] Dochak Latief, Pembangunan Ekonomi dan Kebijakan Ekonomi Global, UMS Press, Surakarta, 2001, h. 32-35.

[24] Soedrajad Djiwandono, Op.Cit, h. 16-19.

[25] Didik. J Rachbini, Khasanah Pemikiran Ekonomi Indonesia, LP3ES, Jakarta, 1998, h. 49.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan beri komentar dengan baik, sopan dan tidak mengandung SARA !