Senin, 29 Juni 2009

KEBIJAKAN REGULASI HUKUM PIDANA DALAM MENANGANI KEJAHATAN TEKNOLOGI INFORMASI *)

Oleh : Sugiaryo, dan Rosita Lestari**)

A. Latar Belakang Masalah

Hukum pidana memiliki arti yang penting dalam wacana hukum di Indonesia. Betapa tidak !, karena dalam hukum pidana memuat aturan-aturan yang menentukan perbuatan-perbuatan yang tidak boleh dilakukan dengan disertai ancaman yang berupa pidana (nestapa) dan menentukan syarat-syarat pidana dapat dijatuhkan[1]. Dengan demikian materi hukum pidana sarat dengan nilai kemanusiaan [2]

Mengingat materi hukum pidana sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan, maka hukum pidana dapat digambarkan sebagai pedang bermata dua. Satu sisi hukum pidana bertujuan menegakkan nilai kemanusiaan, namun di sisi lain, penegakan hukum pidana justru memberikan sanksi kenestapaan bagi manusia yang melanggarnya. Oleh karena itu, pembahasan mengenai materi hukum pidana dilakukan dengan ekstra hati-hati, yaitu dengan memperhatikan konteks masyarakat di mana hukum pidana itu diberlakukan dan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusaiaan yang beradab.

Perihal kesesuaian antara hukum pidana dengan masyarakat di mana hukum pidana tersebut diberlakukan, menjadi salah satu syarat baik atau buruknya hukum pidana [3]. Artinya, hukum pidana dianggap baik jika memenuhi dan sesuai dengan nilai-nilai yang berkembang di masyarakat. Namun demikian, kenyataan menunjukkan bahwa hingga sekarang hukum pidana Indonesia masih mempergunakan hukum pidana warisan Belanda. Sehingga secara filosofis, politis, dan sosiologis, pemberlakuan hukum pidana warisan colonial ini jelas menimbulkan problem tersendiri bagi bangsa Indonesia.

Menurut Undang-undang No. 1 tahun 1946, hukum pidana Indonesia yang disebut dengan KUHP, wujud aslinya adalah Wetboek van Strafrecht yang masih menggunakan bahasa Belanda [4]. KUHP yang beredar di pasaran, adalah KUHP yang diterjemahkan dari bahasa Belanda oleh beberapa pakar hukum pidana, seperti Moeljatno, dan R. Susilo maupun terjemahan dari Badan Pembinaan Hukum Nasional[5].

Dilihat dari usianya, KUHP dapat dianggap telah usang dan sangat tua [6], walaupun Indonesia telah beberapa kali merubah materi KUHP, namun perubahan ini tidak sampai kepada masalah substansial atau masalah pokoknya. Di Belanda sendiri, KUHP saat ini telah banyak mengalami perkembangan, antara lain penghilangan pidana mati, penambahan pidana kerja sosial, serta denda yang dibuat dengan system kategorisasi[7].

Sudarto menyebutkan bahwa, ada tiga substansi atau masalah pokok dalam hukum pidana, yaitu kesalahan, sifat melawan hukumnya perbuatan dan pidana[8]. Sedangkan Barda Nawawi Arief, menyebutkan bahwa tiga substansi atau masalah pokok hukum pidana tersebut meliputi masalah kesalahan atau pertanggungjawaban pidana, masalah pidana dan pemidanaan, maupun masalah tindak pidana atau kejahatan[9].

Berkenaan dengan tindak pidana atau kejahatan, KUHP bersifat positivis, dalam arti harus dicantumkan dalam Undang-Undang (asas legalitas formal). Dengan demikian, KUHP tidak memberikan tempat bagi hukum yang hidup di tengah-tengah masyarakat yang tidak tertulis dalam perundang-undangan. Tindak pidana atau kejahatan yang muncul, akibat perkembangan teknologi informasi seperti money laundering, cyber crime, belum tercover dalam KUHP[10].

B. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas dapat dikemukakan permasalahan sebagai berikut:

” Bagaimanakah kebijakan regulasi hukum pidana dalam rangka menangani kejahatan teknologi informasi ?”

C. Pembahasan

Untuk menjawab pertanyaan tersebut di atas, maka pada tulisan ini secara berturut-turut akan dibahas tentang perkembangan teknologi informasi dan modus-modus kejahatan, dan selanjutnya akan dibahas tentang kebijakan regulasi hukum pidana dalam menangani kejahatan teknologi informasi.

1. Perkembangan Teknologi Informasi dan Modus-Modus Kejahatan.

Sue Titus Reid mengemukakan bahwa kejahatan adalah tindakan yang disengaja melanggar hukum pidana yang dilakukan tanpa adanya suatu pembelaan atau pembenaran yang diakui secara hukum dan diberi sanksi oleh negara[11]. Sutherland dalam Soerjono Soekamto mengemukakan bahwa ciri pokok dari kejahatan adalah merupakan perbuatan yang merugikan negara dan terhadap perbuatan itu negara bereaksi dengan memberikan hukuman sebagai upaya pamungkas[12]. Francis Fukuyama menjelaskan bahwa ada kaitan yang erat antara modal sosial[13] dan kejahatan. Kejahatan itu muncul atau terjadi karena tiadanya modal sosial[14].

Seiring dengan berkembangnya teknologi internet (cyberspace) menyebabkan munculnuya kejahatan yang disebut dengan cybercrime atau kejahatan melalui jaringan internet[15]. Internet atau interconnected network adalah konvergensi telematika yang merupakan perpaduan teknologi komputer, media dan teknologi informasi. Internet merupakan jaringan komputer yang terdiri dari ribuan bahkan jutaan jaringan komputer independen yang dihubungkan satu dengan yang lainnya. Jaringan ini dapat dimanfaatkan untuk kepentingan sosial, ekonomi, politik, militer, bahkan untuk propaganda maupun terorisme[16].

Internet merupakan sebuah ruang informasi dan komunikasi yang menembus batas-batas yurisdiksi antarnegara. Sebuah media yang menawarkan beragam kemudahan-kemudahan berstransaksi tanpa mempertemukan para pihak secara fisik atau material. Internet telah membawa seseorang ke dalam dunia baru yang disebut cyberspace, yang dalam perkembangannya tidak hanya membawa efek positif, tetapi juga efek negatif.

Cyberspace sebagai wahana komunikasi [17]yang berbasis komputer, banyak menawarkan realitas baru dalam berinteraksi di dunia maya. Adanya interaksi antarpengguna cyberspace telah banyak terseret ke arah terjadinya penyelewengan hubungan sosial berupa kejahatan yang khas yang memiliki karakteristik berbeda dengan tindak pidana konvensional yang selama ini sudah dikenal. Namun ada juga yang berpandangan bahwa kejahatan melalui internet memiliki kesamaan bentuk dengan kejahatan yang ada di dunia nyata. Dalam kejahatan komputer ini dimungkinkan adanya delik formil dan delik materiil[18]. Delik formil adalah perbuatan seseorang yang memasuki komputer orang lain tanpa ijin, sedangkan delik materiil adalah perbuatan yang menimbulkan akibat kerugian bagi orang lain.

Andi Hamzah memberikan definisi mengenai kejahatan komputer adalah diartikan sebagai penggunaan komputer secara ilegal[19]. Sedangkan Petrus Reinhard Golose, mengemukakan bahwa dalam kasus kejahatan dunia maya, baik korban maupun pelaku tidak berhadapan langsung dalam satu tempat kejadian perkara. Dalam berbagai kasus baik korban maupun pelaku dapat berada dalam negara yang berbeda. Hal ini menggambarkan bahwa kejahatan dunia maya merupakan salah satu bentuk kejahatan lintas negara (transnational crime), dan tak terbatas (borderless), tanpa kekerasan (non violence), tidak ada kontak fisik (no phisicially contact), dan tanpa nama (anonimity)[20]. Itulah sebabnya JE. Sahetapy mengatakan bahwa kejahatan erat kaitannya dengan hasil budaya, artinya semakin tinggi tingkat budaya dan semakin modern suatu bangsa, maka semakin modern pula kejahatan itu, baik dilihat dari bentuk, sifat, dan cara pelaksanaannya[21].

Secara umum, kejahatan di bidang TI dapat dikategorisasikan menjadi dua kelompok. Pertama, kejahatan biasa yang menggunakan teknologi informasi sebagai alat bantunya. Dalam kejahatan ini terjadi peningkatan modus dan operandinya dari semula menggunakan peralatan biasa, sekarang telah memanfaatkan teknologi informasi. Dampak dari kejahatan biasa yang telah menggunakan teknologi informasi ternyata cukup serius, terutama jika dilihat dari jangkauan dan nilai kerugian yang ditimbulkan oleh kejahatan tersebut. Pencurian uang dengan pembobolan bank atau pembelian barang menggunakan kartu kredit curian melalui media internet dapat menelan korban di wilayah hukum negara lain, suatu hal yang jarang terjadi dalam kejahatan konvensional. Kedua, kejahatan yang muncul setelah adanya internet, di mana sistem komputer sebagai korbannya. Kejatahan yang menggunakan aplikasi internet adalah salah satu perkembangan dari kejahatan teknologi informasi. Jenis kejahatan dalam kelompok ini semakin bertambah seiring dengan kemajuan teknologi informasi. Contoh dari kejahatan kelompok ini adalah pengrusakan situs internet, pengiriman virus atau program-program komputer yang tujuannya merusak sistem kerja komputer[22].

Berdasarkan jenis aktifitas yang dilakukannya cybercrime dapat digolongkan menjadi beberapa jenis[23], antara lain : (1) unauthorized acces, (2) illegal contents, (3) penyebaran virus secara sengaja, (4) data forgeri, (5) cyber espionage, (6) sabotage and extortion, (7) cyberstalking, (8) carding, (9) cracker, (10) cybersquatting, (11) tiposquatting, (12) hijacking, dan (13) cyberterorism[24].

Berdasarkan motif kejahatan yang dilakukannya, cybercrime dapat digolongkan menjadi dua jenis[25] yaitu (1) cybercrime sebagai tindakan murni kriminal, dan (2) cybercrime sebagai kejahatan abu-abu[26].

Berdasarkan sasaran kejahatan, cybercrime dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori[27], yaitu: (1) cybercrime yang menyerang individu (againts person), (2) cybercrime yang menyerang hak milik (againts property), dan cybercrime yang menyerang pemerintah (againts goverment)[28].

2. Kebijakan Regulasi Hukum Pidana dalam Menangani Kejahatan Teknologi Informasi

Pesatnya perkembangan teknologi informasi beserta penyebaran produk-produknya sangat dimungkinkan karena adanya globalisasi dan dampaknya terasa pula dalam bidang hukum. Hukum, teknologi informasi, dan globalisasi merupakan 3 bidang yang saling berhubungan. Dalam globalisasi (karena kemajuan teknologi informasi), hukum bergerak diantara mempertahankan hukumnya sendiri atau menyesuaikan dengan hukum negara lain.

Dengan majunya teknologi informasi, memungkinkan setiap orang dapat melakukan hubungan hukum dengan orang lain di belahan dunia manapun. Akibat dari kemajuan ini dibutuhkan hukum untuk mengatur perilaku manusia, memecahkan masalah-masalah yang timbul, sebagai sosial kontrol[29]. Persoalannya adalah kecepatan yang dimiliki oleh hukum tidak seiring dengan kecepatan globalisasi dan teknologi informasi, sehingga timbul kesan bahwa hukum selalu tertinggal dalam mengatur aktivitas perilaku manusia. Ketertinggalan hukum bukan merupakan indikasi bahwa hukum termarginalisasi, akan tetapi ada beberapa hal yang menyebabkan. Pertama, adanya perbedaan kepentingan dan kemauan politik dari badan pembuat hukum[30], Kedua, proses pembuatan undang-undang membutuhkan waktu yang lama[31], padahal perkembangan teknologi berjalan sangat cepat sehingga dengan proses yang demikian lama menyebabkan hukum yang terbentuk menjadi usang dari sisi teknologi. Ketiga, hukum memerlukan kepastian dan ketepatan, sehingga substansi atau materi yang hendak diatur dapat dipergunakan oleh para penegak hukum maupun oleh mereka yang diatur[32].

Persoalan yang timbul diantara hukum, teknologi informasi dan globalisasi berujung pada satu titik yaitu manusia. Karena berbicara masalah hukum tidak semata-mata bersifat normatif melainkan membahas persoalan manusia. Oleh karena itu persoalan hukum yang paling mendasar adalah persoalan manusia[33]. Manusia merupakan mahluk yang monodualis yaitu sebagai mahluk individu dan mahluk sosial[34], bahkan oleh Notonagoro disebutnya sebagai mahluk monopluralis artinya manusia terdiri dari banyak asas (monodualis-monodualis) yang merupakan satu kesatuan, misalnya jiwa - raga, individu – sosial, mandiri - terikat dan sebagainya[35]. Sehingga persoalan kemanusiaan memiliki dimensi yang luas, yang meliputi sosial, hukum, budaya, ekonomi, dan sebagainya.

Berkembangnya teknologi informasi karena globalisasi adalah merupakan wujud dari rutinitas manusia yang ditunjukkan untuk kepentingan manusia. Hukum bertujuan untuk mengatur perilaku manusia, akan tetapi tiap hari kita jumpai kejahatan. Teknologi informasi dikembangkan untuk membuat hidup manusia lebih mudah berkomunikasi, akan tetapi banjir informasi yang menyesatkan (pornografi, cybercrime). Dengan globalisasi berharap meningkatnya kesejahteraan rakyat, akan tetapi banyak rakyat yang tertindas. Tujuan yang dicapai adalah kekayaan dan kekuasaan[36]. Negara-negara besar dan kuat lebih banyak memberikan pengaruh bahkan kerap kali memaksakan sekalipun dengan dalih bermacam-macam. Sebaliknya negara kecil atau negara yang lemah secara politik dan ekonomi bersifat tergantung di tingkat global[37]. George Washinton pernah berkata bahwa merupakan suatu kegilaan bagi suatu negara mengharapkan pertolongan negara lain tanpa memperhatikan negara yang membantunya. Lebih jelas pendapat dari Jhon Foster Dulles yang menyatakan bahwa Amerika tidak mempunyai teman, tetapi Amerika selalu mempunyai kepentingan tertentu[38].

Sistem hukum modern yang diterapkan Indonesia saat ini tidak secara otomatis menjamin keadilan. Hal ini masih sangat tergantung pada bagaimana penegak hukum menggunakan atau tidak menggunakan hukum. Penggunaan hukum tersebut tidak berarti melakukan pelanggaran hukum, melainkan semata-mata menunjukkan hukum dapat digunakan untuk tujuan lain selain mewujudkan keadilan. Disinilah letak tragedi hukum modern[39].

Pemikiran Satjipto Rahardjo dengan hukum progresifnya yang menegaskan bahwa hukum hendaknya mampu mengikuti perkembangan jaman, mampu menjawab perubahan jaman dengan segala dasar didalamnya serta mampu melayani masyarakat dengan menyandarkan aspek moralitas dari sumber daya manusia penegak hukum itu sendiri[40].

Permasalahan adalah bahwa dalam penegakan hukum yang seringkali dihadapi adalah ketika terkait dengan penyampaian informasi, komunikasi dan/atau transaksi secara elektronik khususnya dalam hal pembuktian dan hal yang terkait dengan perbuatan hukum yang dilaksanakan melalui sistem elektronik (sistem komputer).

Dalam hukum kita meskipun masih relatif sederhana, sebenarnya sudah sejak lama memperluas penafsiran asas dan normanya ketika menghadapi persoalan kebendaan yang tidak berwujud, misalnya dalam kasus pencurian listrik sebagai perbuatan pidana. Namun dalam kegiatan cybers tidak lagi sederhana karena kegiatannya tidak lagi dibatasi oleh teritori suatu negara, yang mudah diakses kapan dan darimanapun. Kerugian dapat terjadi baik pada pelaku transaksi maupun pada orang lain yang tidak pernah melakukan transaksi.

Kegiatan melalui media elektronik atau komputer meskipun bersifat virtual (maya) dapat diketegorikan sebagai tindakan atau perbuatan hukum yang nyata. Secara yuridis kegiatan pada ruang siber tidak dapat didekati dengan ukuran dan kualifkasi hukum konvensional saja sebab jika cara ini ditempuh akan terlalu banyak kesulitan dan hal yang lolos dari pemberlakuan hukum. Kegiatan dalam ruang siber adalah kegiatan virtual yang berdampak sangat nyata meskipun alat buktinya bersifat elektronik. Dengan demikian, subjek pelakunya harus dikualifikasikan pula sebagai orang yang telah melakukan perbuatan hukum secara nyata.

Ketentuan-ketentuan mengenai cybercrime dalam KUHP masih bersifat global, namun berdasarkan tingkat kemungkinan terjadinya kasus dalam dunia maya dan kategorisasi kejahatan cyber menurut Teguh Arifandi (Inpsektur Jenderal Depkominfo)[41] mengkategorisasikan beberapa hal yang secara khusus diatur dalam KUHP dan disusun berdasarkan tingkat intensitas terjadinya kasus tersebut yang berkaitan dengan kejahatan hacking antara lain : (1). Ketentuan yang berkaitan dengan delik pencurian, (2). Yang berkaitan dengan pengrusakan/pengahncuran barang, (3). Yang berkaitan dengan perbuatan memasuki atau melintasi wilayah orang lain.

Delik pencurian, di atur dalam Pasal 362 KUHP dan variasinya diatur dalam Pasal 363 KUHP, yakni tentang pencurian dengan pemberatan; Pasal 364 KUHP tentang pencurian ringan, Pasal 365, tentang pencurian yang disertai dengan kekerasan; Pasal 367 KUHP, tentang pencurian di lingkungan keluarga. Pasal 362 KUHP berbunyi: “Barangsiapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak Sembilan ratus rupiah”.

Menurut hukum pidana, pengertian benda diambil dari penjelasan Pasal 362 KUHP yaitu segala sesuatu yang berwujud atau tidak berwujud seperti listrik, dan mempunyai nilai di dalam kehidupan ekonomi dari seseorang. Data atau program yang tersimpan di dalam media penyimpanan disket atau sejenisnya yang tidak dapat diketahui wujudnya dapat berwujud dengan cara menampilkan pada layar penampil komputer (screen) atau dengan cara mencetak pada alat pencetak (printer). Dengan demikian data atau program komputer yang tersimpan dapat dikategorikan sebagai benda seperti pada penjelasan Pasal 362 KUHP. Kendatipun demikian dalam sistem pembuktian kita terutama yang menyangkut elemen penting dari alat bukti (Pasal 184 KUHAP ayat (1) huruf c) masih belum mengakui data komputer sebagai bagiannya karena sifatnya yang digital. Padahal dalam kasus cybercrime data elektronik seringkali menjadi barang bukti yang ada. Karenanya sangat realistis jika data elektronik dijadikan sebagai bagian dari alat bukti yang sah[42].

Menurut pengertian computer related crime, pengertian mengambil adalah dalam arti meng-copy atau mereka data atau program yang tersimpan di dalam suatu disket dan sejenisnya ke disket lain dengan cara memberikan instruksi-instruksi tertentu pada komputer sehingga data atau program yang asli masih utuh dan tidak berubah dalam posisi semula.

Menurut penjelasan pasal 362 KUHP, barang yang sudah diambil dari kekuasaan pemiliknya itu, juga harus berindah dari tempat asalnya, padahal dengan mengambil adalah melepaskan kekuasaan atas benda itu dari pemiliknya untuk kemudian dikuasai dan perbuatan itu dilakukan dengan sengaja dengan maksud untuk dimiliki sendiri, sehingga perbuatan meng-copy yang dilakukan dengan sengaja tanpa ijin dari pemiliknya dapat dikategorikan sebagai perbuatan “mengambil” sebagaimana yan dimaksud dengan penjelasan Pasal 362 KUHP.

Dalam sistem jaringan (network), peng-copy-an data dapat dilakukan secara mudah tanpa harus melalui izin dari pemilik data. Hanya sebagian kecil saja dari data internet yang tidak dapat “diambil” oleh para pengguna internet. Pencurian bukan lagi hanya berupa pengambilan barang/benda berwujud saja, tetapi juga termasuk pengambilan data secara tidak sah.

Penggunaan fasilitas Internet Service Provider (ISP) untuk melakukan kegiatan hacking erat kaitannya dengan delik pencurian yang diatur dalam Pasal 362 KUHP. Pencuri biasanya lebih mengutamakan memasuki sistem jaringan perusahaan financial, misalnya: penyimpanan data kartu kredit, situs-situs belanja on-line yang ditawarkan di media internet dan data yang didapatkan secara melawan hukum itu diharapkan memberi keuntungan bagi si pelaku[43].

Ketentuan mengenai perbuatan perusakan, penghancuran barang, diatur dalam Pasal 406-412 KUHP. Pasal 406 KUHP berbunyi : (1) Barangsiapa dengan sengaja melawan hukum menghancurkan[44], merusakkan[45], membikin tidak dapat dipakai lagi[46] atau menghilangkan[47] barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, diancam dengan pidana dipenjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah; (2) Dijatuhkan pidana yang sama terhadap orang, yang dengan sengaja dan melawan hukum membunuh, merusakkan, membikin tidak dapat digunakan atau menghilangkan hewan yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain.

Berdasarkan pengertian-pengertian mengenai perbuatan “menghancurkan, merusak, membuat tidak dapat dipakai lagi dan menghilangkan”, maka dapat disimpulkan bahwa makna dalam perbuatan-perbuatan tersebut tedapat kesesuaian yang pada intinya perbuatan tersebut menyebabkan fugsi dari data atau program dalam suatu jaringan menjadi berubah/berkurang.

Perbuatan penghancuran atau perusakan barang yang dilakukan cracker dengan kemampuan hacking-nya bukanlah perbuatan yang bisa dilakukan oleh semua orang awam. Kemampuan tersebut dimiliki secara khusus oleh orang-orang yang mempunyai keahlian dan kreatifitas dalam memanfaatkan sistem, program, maupun jaringan. Motif untuk kejahatan ini sangat beragam yakni misalnya motif ekonomi, politik, pribadi atau motif kesenangan semata.

Ketentuan yang Berkaitan dengan Perbuatan Memasuki atau Melintasi Wilayah Orang Lain diatur dalam Pasal 167 KUHP yang berbunyi : (1) Barangsiapa memaksa masuk ke dalam rumah, ruangan atau pekarangan tertutup yang dipakai orang lain dengan melawan hukum atau berada di situ dengan melawan hukum, dan atas permintaan yang berhak atau suruhannya tidak pergi dengan segera, diancam dengan pidana penjara paling lama Sembilan bulan atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah; (2) Barangsiapa masuk dengan merusak atau memanjat, dengan menggunakan anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu atau barang siapa tidak setahu yang berhak lebih dulu bukan karen kekhilafan masuk dan kedapatan di situ pada waktu malam, dianggap memaksa masuk; (3) Jika mengeluarkan ancaman atau menggunakan sarana yang dapat menakutkan orang, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan; (4) Pidana tersebut dalam ayat (1) dan (3) ditambah sepertiga jika yang melakukan kejahatan dua orang atau lebih dengan bersekutu.

Dari Pasal 167 KUHP, menurut Andi Hamzah ada beberapa hal yang menyulitkan aparat penegak hukum dalam upaya penanganan kejahatan komputer, antara lain: (1). Apakah komputer dapat disamakan dengan rumah, ruangan atau pekarangan tertutup; (2). Berkaitan dengan cara masuk ke rumah atau ruangan tetutup, apakah test key atau password yang digunakan oleh seseorang untuk berusaha masuk ke dalam suatu sistem jaringan dapat dikategorikan sebagai kunci palsu, perintah palsu atau pakaian palsu.

Pasal yang berkaitan dengan perbuatan memasuki atau melintasi wilayah orang lain adalah Pasal 551 KUHP yang berbunyi: “Barang siapa tanpa wewenang berjalan atau berkendaraan di atas tanah yang oleh pemiliknya dengan cara jelas di larang memasukinya, diancam dengan pidana denda paling banyak dua ratus dua puluh lima rupiah”. Berkaitan dengan pasal ini, ada beberapa hal yang tidak sesuai lagi untuk diterapkan dalam upaya penanggulangan kejahatan hacking, yaitu pidana denda yang sangat ringan –dapat mengganti pidana kurungan- padahal hacking dapat merugikan finansial yang tidak sedikit bahkan mampu melumpuhkan kegiatan dari pemilik suatu jaringan yang berhasil dimasuki oleh pelaku dan perbuatan hacking ini merupakan awal dari maraknya kejahatan-kejahatan tradisional dengan sarana komputer dilakukan. Misalnya: pencurian, penipuan, penggelapan, pemalsuan dan lain-lain. Sebagai contoh: Seseorang yang dapat masuk ke suatu jaringan komputer perusahaan akan dengan mudah melakukan transaksi fiktif yang ia kehendaki atau melakukan perbuatan curang lainnya. Penanggulangan terhadap cybercrime dalam bentuk hacking perlu diimbangi dengan pembenahan dan pembangunan sistem hukum pidana secara menyeluruh, yakni meliputi pembangunan kultur, struktur dan subtansi hukum pidana. Dalam hal ini kebijakan hukum pidana menduduki posisi yang strategis dalam pengembangan hukum pidana modern. Istilah kebijakan berasal dari bahasa Inggris policy atau dalam bahasa Belanda politiek yang secara umum dapat diartikan sebagai prinsip-prinsip umum yang berfungsi untuk mengarahkan pemerintah dalam mengelolah, mengatur atau menyelesaikan urusan-urusan publik, masalah- masalah masyarakat atau bidang-bidang penyusunan peraturan perundang-undangan dan pengaplikasian hukum/peraturan, dengan suatu tujuan yang mengarah pada upaya mewujudkan kesejahteraan atau kemakmuran masyarakat (warga negara)[48]. Oleh karena itu istilah kebijakan hukum pidana dapat pula disebut dengan istilah politik hukum pidana.

Lahirnya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, diharapkan dapat meningkatkan efektifivas dan efisiensi pelayanan publik serta membuka kesempatan yang seluas-luasnya kepada setiap orang untuk memajukan pemikiran dan kemampuan di bidang penggunaan dan pemanfaatan teknologi informasi seoptimal mungkin dan bertanggung jawab selain itu juga diharapkan dapat memberikan rasa aman, adil, dan kapastian hukum bagi pengguna dan penyelenggaraan teknologi informasi termasuk penanggulangan kejahatan dunia maya (cybercrime).

Hukum positif selain KUHP yang saat ini dapat dipergunakan untuk menangani kejahatan dunia maya (cybercrime), disamping diatur dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 khususnya Pasal 27 sampai dengan Pasal 52, juga diatur dalam Peraturan Perundang-undangan lain, yaitu: (1) Undang-undang Nomor 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi, meliputi: (a) pasal 22 dan Pasal 50, yakni memberikan ancaman pidana bagi perbuatan memanipulasi akses ke jaringan telekomunikasi; (b) Pasal 38 dan Asal 55 yakni memberikan ancaman pidana bagi mereka yang menimbulkan gangguan fisik dan elektromagnetik terhadap penyelenggaraan telekomunikasi; (c) Pasal 40 dan Pasal 56, memberi ancaman pidana bagi mereka yang menyadap informasi melalui jaringan telekomunikasi; (2) Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, khususnya Pasal 1 Ayat 8, menjelaskan bahwa progran komputer adalah sekumpulan intruksi yang diwujudkan dalam bentuk bahasa, skema, kode maupun bentuk yang lain yang apabila digabungkan dengan media yang dapat dibaca dengan komputer akan mampu membuat komputer bekerja untuk melakukan fungsi-fungsi khusus atau untuk mencapai hasil yang khusus, termasuk persiapan dalam merancang instruksi tersebut. Dalam Pasal 30 mengatur mengenai jangka waktu hak cipta untuk program komputer berlaku selama 50 tahun, (3) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan, khususnya Pasal 12, menjelaskan bahwa dokumen perusahaan yang berupa mikrofilm, dan media lainnya (alat penyimpan, informasi yang bukan kertas, dan mempunyai tingkat pengamanan yang dapat menjamin keaslian dokumen yang dialihkan atau ditransformasikan) diakui sebagai alat bukti yang sah., (4) Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, menjelaskan bahwa alat bukti petunjuk tidak hanya dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa sebagaimana diatur dalam KUHAP tetapi juga dapat diperoleh dari alat bukti yang lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik (email), telegram, teleks, faximile, dan dari dokumen yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang diatas kertas, bentuk fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna., (5) Undang-undang Nomor 25 Tahun 2003 Tentang Pencucian Uang, khususnya Pasal 2 Ayat 1 q, menjelaskan bahwa salah satu jenis tindak pidana penipuan adalah dilakukan melalui internet dan Pasal 38 huruf b menjelaskan bahwa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, dan disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu adalah merupakan alat bukti yang sah, dan (6) Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Perdagangan Orang, khususnya Pasal 29, mengatur alat bukti selain sebagaiman yang diatur dalam KUHP, yaitu yang berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau serupa dengan itu dan data rekaman atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, didengar, dan dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang dikertas, benda fisik apapun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik.

Jika kita cermati hukum positif kita berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaiman telah disebutkan diatas secara normatif, mampu untuk menangani kejahatan penyalahgunaan pemanffatan teknologi informasi. Agustinus Dawaria, berpendapat bahwa internet hanya metode, situs bisa dilihat seperti rumah, data sama dengan barang milik orang, oleh karena itu hukum bisa ditegakkan meskipun dengan hukum positif yang lama (sebelum lahirnya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008), apalagi setelah disahkannya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Undang-undang ini dengan tegas menyebutkan bahwa untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan dipersidangan, selain ketentuan yang diatur dalam KUHAP dan peraturan perundangan lainnya, informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik adalah merupakan alat bukti yang sah (Pasal 44 Uundang-undang Nomor 11 Tahun 2008).

Beberapa contoh kasus penyalahgunaan pemanfaatan teknologi informasi dapat dipaparkan sebagai berikut:

1. Hacker, Dani Firmansyah konsultan Teknologi Informasi (TI) PT Danareksa di Jakarta, pada Sabtu 17 April 2004 berhasil membobol situs (Craking) Pusat Tabulasi Nasional Pemilu http://www.tnp.kpu.go.id milik Komisi Pemilihan Umum (KPU) di Hotel Borobudur Jakarta Pusat dan mengubah nama-nama partai di dalamya menjadi nama-nama ”unik” semisal Partai Kolor Ijo, Partai Mbah Jambon, Partai Jambu, dan sebagainya. Modus dengan mengetes sistem keamanan server http://www.tnp.kpu.go.id dengan cara XSS aau Cross Site Scripting dan SQL Injection. Barang bukti: log file kabinet, server warnet Yogyakarta, server Danareksa, server KPU, Grafik koneksi berupa webalizer, sabtu buah cd software, satu boks file dan satu buku komputer. Majelis hakim Pengadilan negeri Jakarta Pusat yang diketuai Hamdi SH, pada persidangan kamis 23 Desember 2004, menetapkan vonis 6 bulan 21 hari kepada Dani Firmansyah. Hukuman didasarkan pada UU RI Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi Pasal 22c jo. Pasal 38 jo Pasal 50 dan Subsider Pasal 406 KUHP (menghancurkan dan merusakkan barang).

2. Cyber Fraud (CC Fraud), Benny Wong pada 14 Juli 2004 melakukan transaksi di ”Hardy’s Supermarket” Batubulan Giayar Bali, dengan menggunakan kartu kredit City Bank bernomor 4541 7900 1413 0605 atas nama Wahyu Nugroho. Saat itu transaksi berhasil dilakukan. Pada tanggal yang sama, Benny Wong kembali berbelanja di ”Hardy’s Supermarket” Sanur Bali dengan menggunakan empat kartu kredit palsu yaitu Mastercard dari BNI, Visa dari Standart Cartered Bank, serta Mastercard dan Visa dari Citibank. Namun transaksi gagal dilakukan karena Kartu Kredit yang digunakan diketahui Palsu. Pada tanggal 14 September 2004 Majelis Hakim Pengadilan Negeri Denpasar yang dipimpin oleh Hakim Ketua Arif Supratman SH memberikan ”hadiah” kepada terdakwa berupa putusan hukuman penjara selama 3 (tiga) tahun. Sembilan kemudian, tepatnya 6 Juni 2005, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Gianyar Bali yang dipimpin oleh Hakim Ketua Gede Ginarsa dan Jaksa Penuntut Umum Ida Ayu Surasmi memvonis untuk terdakwa yang sama dengan putusan penjara selama 2 (dua) tahun 8 (delapan) bulan. Secara keseluruhan, hukuman atas terdakwa pemalsuan kartu kredit di Bali itu adalah 5 (lima) tahun 8 (delapan) bulan. Putusan Pengadilan terhadap Benny Wong di Pengadilan Negeri Denpasar dan Pengadilan Negeri Gianyar tersebut, didasarkan pada Pasal 263 KUHP (Pemalsuan Surat-Barang siapa membuat surat palsu...,jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun).

3. Cyber Sex (phornography), Anggota Satuan Cyber Crimes Direktorat kriminal Khusus Kepolisian Daerah Metropolitas Jakarta Raya, Rabu 28 Juli 2004 sekitar pukul 11.15 wib, telah menangkap Johnny Indrawan Yusuf alias Hengky Wiratman alias Irwan Soenaryo asal Malang, Jawa Timur terkait dengan kasus perdagangan VCD Porno dan alat bantu seks melaui jeringan internet dalam situs http://www.vcdporno.com. Nama domain http://www.vcdporno.com itu sendiri terdaftar pada Network solution, LLc 13200 Woodland Park Drive, Herdon, VA 200171-3025, Amerika Serikat. Domainya terdaftar pada 4 Juli 2003 dan akan berakhir pada 4 Juli 2008 atas nama Lily Wirawan/Johny Jusuf dengan alamat : 20 Sill Wood Place, Sidney, 2171, Australia. Situs tersebut juga memiliki IP Addres: 69.50.194.230 yang terdaftar di ATJEU PUBLISHING, LLC 5546 West Irma, Glendale, AZ, United States. Terdakwa diancam hukuman Pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun 8 (delapan) bulan, karena melanggar Pasal 282 KUHP (Kejahatan Terhadap Kesusilaan).

Dari kajian normatif hukum yang diatur dalam peraturan perundangan sebagai mana tersebut diatas sebetulnya telah mampu untuk menangani masalah kejahatan penyalahgunaan pamanfaatan teknologi informasi, namun demikian jika dikaji dari perspektif sosiologi yang mengatakan bahwa hukum adalah bagian dari lingkungan sosialnya, maka bekerjanya hukum tersebut sangat dipengaruhi oleh subsistem-subsistem sosial yang lain seperti sosial, budaya, politik, dan ekonomi. Demikian pula jika membicarakan hukum sebagai satu sistem, maka norma-norma hukum yang diatur dalam peraturan perundang-undangan tersebut hanya merupakan bagian dari subsistem yang lain, yaitu struktur hukum dan budaya hukum. Oleh karena itu norma-norma hukum tersebut dapat berjalan dengan baik apabila lembaga-lembaga hukum yang diciptakan oleh sistem hukum tersebut memberikan dukungan atas bekerjanya norma hukum yang ada serta lembaga-lembaga tersebut mampu memberikan pelayanan hukum secara teratur sesuai dengan keinginan masyarakat. Selain harus didukung oleh struktur hukum yang ada juga harus didukung oleh kesadaran masyarakat untuk melaksanakan hukum tersebut.

Dengan meminjam teori Robert B. Seidman dapat dijelaskan bahwa bekerjanya norma-norma hukum sebagaimana telah diatur dalam peraturan perundangan sangat dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan personal dan sosial. Oleh karena itu dalam rangka menegakkan norma-norma hukum tersebut faktor manusia merupakan faktor yang sangat dominan karena membicarakan penegakan hukum tidak hanya semata-mata berpegangan pada keharusan hukum sebagaimana tercantum dalam peraturan perundangan melainkan berhadapan dengan nilai-nilai maupun pola-pola perilaku yang ada dalam masyarakat.


D. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan tersebut diatas dapat dikemukakan kesimpulan sebagai berikut :

1. Berkembangnya Teknologi Informasi selain berdampak positif juga menimbulkan dampak negatif. Dampak positifnya adalah menambah trend perkembangan teknologi dengan segala bentuk kreatifitas manusia dan dampak negatifnya adalah menimbulkan modus kejahatan baru dalam dunia Cyber.

2. Hukum pidana positif (KUHP) belum dapat sepenuhnya menjangkau kejahatan teknologi Informasi, sehingga perlu ada pembaharuan hukum positif yang mengatur masalah kejahatan TI. Karena kejahatan ini memiliki karakteristik yang berbeda dengan kejahatan konvensional.

3. Instrumen hukum pidana positif (KUHP) yang ada masih kesulitan untuk menanggulangi perkembangan kejahatan TI, terutama berkaitan dengan sistem pembuktian atau alat bukti (pasal 184 KUHAP ayat 1 huruf c masih belum mengakui data komputer sebagai alat bukti karena sifatnya digital). Selain itu, terdapat beberapa pasal yang tidak sesuai lagi untuk diterapkan dalam upaya penaggulangan kejahatan TI, yaitu pidana denda yang sangat ringan (dapat mengganti pidana kurungan) pada hal kejahatan TI dapat merugikan finasiil yang tidak sedikit, bahkan mampu melumpuhkan sistem jaringan.

4. Lahirnya UU No. 11 tahun 2008, tentang Informasi dan Transaksi Elektronik diharapkan mampu memberikan rasa aman, adil, dan kepastian hukum bagi pengguna dan penyelenggara Teknologi Informasi serta mampu menanggulangi kejahatan Teknologi Informasi.



*) Tugas Makalah disusun dalam rangka memenuhi tugas matakuliah Hukum dan Teknologi Informasi.

**) Adalah Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

[1] Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1993, h.1

[2] Ahmad Babiej, Sejarah dan Problematika Hukum Pidana Material di Indonesia, Sosio Religia, Vol.5 No. 2 Pebruari 2006, h.1.

[3] ibid

[4] Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1981, h.71

[5] Bandingkan, Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1994. R.Susilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, serta Komentar-komentarnya lengkap pasal demi pasal, Polite, Bogor, t.th. dan Tim Penerjemah BAdan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1988.

[6] Hukum pidana telah diberlakukan di Indonesia sejak tahun 1918. Ini berarti telah berusia 91 tahun. Dan jika dihitung sejak dibuat pertama kali di Belanda (1881), maka KUHP telah berusia 128 tahun.

[7] Lihat The Dutch Penalcode, Translated By Louise Rayar and Stafford watswoth, Fred B. Rothman, Colorado, 1997.

[8] Sudarto, Hukum Pidana I, Fakultas Hukum Undip, Semarang, 1990,h.86

[9] Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, h.87

[10] Permasalahan ini sedikit terobati dengan dikenalnya asas legalitas materiil yang mengakui adanya nilai-nilai yang hidup di masyarakat dalam perundang-undangan, seperti Undang-undang Drt No 1 tahun 1951.

[11] Sue Titus Reid, Crime and Criminology, Hot Rinehart and Winston, New York, 1979, h. 5.

[12] Soerjono Soekamto, Hengkie Liklikuwata, Mulyana W. Kusumah, Krimonologi Suatu Pengantar, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1981, h. 45.

[13] Modal sosial adalah sebagai suatu rangkaian proses hubungan antar manusia yang ditopang oleh jaringan, norma-norma dan kepercayaan sosial. Even Cox, A. Trully Civil Society, ABC Books, Sydney, 1995, h. 12. Robert D Putnam, menjelaskan bahwa ada tiga unsur modal sosial yaitu partisipasi dalam satu jaringan, kecenderungan saling tukar kebaikan antar individu dalam satu kelompok atu antar kelompok dan trus atau rasa percaya diri. (Robert D Putnam, Making Democrasy Work, Princenton University Press, Princenton, 1993), h. 82.

[14] Francis Fukuyama, Goncangan sosial kodrat manusia dan tata sosial baru, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2005, h. 34.

[15] Modus-modus kejahatan Dalam teknologi informasi, dapat dijumpai di situs http:// irmarr.staff.gunadarma.ac.id, diakses 10 Mei 2009

[16] Ramos Horta menggunakan internet sebagai media perjuangan untuk kemerdekaan Timor Timur, terutama setelah jajak pendapat Agustus 1999, Ramos Horta dan Pasukan Digitalnya menyerang situs-situs pemerintah Indonesia, Republika 22 Agustus dan 26 September 1999. Demikian pula munculnya situs Anshar.net sebagai alat propaganda kelompok teroris Dr. Azhari. Dalam situs ini dimuat cara-cara melakukan terror, target serangan dan alas an terror yang mereka lalukan, lihat di www.metronews.com. Diakses 10 Juni 2009.

[17] Tubagus Rony Rahman Niti Baskara, Ketika Kejahatan Berdaulat : Sebuah Pendekatan Kriminologi, Hukum dan Sosiologi, Peradaban, Jakarta, 2001, h,53

[18] Safitri, Indra, “Tindak Pidana di Dunia Cyber”. Insider, Legal Journal From IndonesianCapital&Investmen Market, dapat dijumpai di Internet:

http://business.fortunecity.com/buffett/842/art180199_tindakpidana.htm, diakses tanggal 10 Mei 2009.

[19] Andi Hamzah, 1989, Aspek-aspek Pidana di Bidang Komputer, Jakarta: Sinar Grafika h. 26.

[20] Petrus Reinhard Golose, Penegakan Hukum Cyber Crime dalam Sistem Hukum Indonesia dalam Seminar Pembuktian dan Penanganan Cyber Crime di Indonesia, FHUI, Jakarta, 2004, h. 19.

[21] Abdul Wahid, Kriminologi dan Kejahatan Kontemporer, Lembaga Penerbitan FAkultas Hukum Unisma, Malang, 2002, h.21

[22] Heru Sutadi, Cybercrime, Apa yang bisa diperbuat ?. http://www.sinarharapan.co.id/berita/0304/05/bpi.01.html, 2003, diakses 10 Juni 2009

[23] James O. Brian, Management Information System, Mc Graw-Hill, 1999, h. 21, Donny Budi Utoyo, Kajian Sosial Kuminitas Maya Hacker/Craker dalam “Jurnal Hukum Teknologi”, Volume 2 Nomor 1 Tahun 2005, LKHT FH UI, Depok, h. 48.

[24] Unauthorized acces adalah kejahatan yang terjadi ketika seseorang memasuki atau menyusup kedalam suatu sistem jaringan komputer secara tidak sah, tanpa ijin, atau tanpa sepengetahuan dari pemilik sistem jaringan komputer yang dimasukkinya. Illegal contents, adalah merupakan kejahatan yang dilakukan dengan mamasukkan data atau informasi ke Internet tentang suatu hal yang tidak benar atau tidak etis dan mengganggu ketertiban umum. Penyebaran virus secara sengaja, pada umumnya dilakukan dengan menggunakan email. Seringkali orang yang sistem emailnya terkena virus, kemudian virus itu secara sengaja dikirim ketempat lain melalui emailnya. Data Forgeri adalah kejahatan yang dilakukan dengan tujuan memalsukan data pada dokumen penting yang ada di internet. Dokumen-dokumen ini biasanya dimiliki oleh institusi atau lembaga yang memiliki situs berbasis web data base. cyber espionage adalah merupakan kejahatan yang memanffatkan jaringan internet untuk melakukan kegiatan mata-mata terhadap pihak lain, dengan mamasuki sistem jaringan komputer pihak sasaran. sabotage and extortion adalah merupakan jenis kejahatan yang dilakukan dengan membuat gangguan, perusakan, atau penghancuran terhadap suatu data, program komputer atau sistem jaringan komputer yang terhubung dengan internet. Cybertalking adalah kejahatan yang dilakukan untuk mengganggu atau melecehkan seseorang dengan memanfaatkan komputer. Carding adalah kejahatan yang dilakukan untuk mencuri kartu kredit milik orang lain dan digunakan dalam transaksi perdagangan di internet. Dalam bahasa Indonesia istilah Carding diterjemahkan sebagai penipuan kartu kredit, yang diartikan sebagai penggunaan kartu kredit yang dilakukan oleh orang yang tidak seharusnya menggunakan kartu kredit tersebut untuk melakukan transaksi melalui internet. Cracker adalah kejahatan dengan cara memanfaatkan kemampuannya untuk hal-hal negatif, misalnya pembajakan account milik orang lain, pembajakan situs web, probing, menyebar virus, hingga sampai melumpuhkan target sasaran. Cybersquatting adalah merupakan kejahatan yang dilakukan dengan mendaftarkan domain nama perusahaan orag lain dan kemudian menjualnya kepada perusahaan, dengan harga yang lebih mahal. Tiposquatting adalah kejahatan yang membuat domain plesetan yaitu domain yang mirip dengan nama domai orang lain. Nama tersebut merupakan nama domain saingan perusahaan. Hijacking adalah Merupakan kejahatan melaukan pembajakan hasil karya orang lain, yang paling sering terjadi adalah pembajakan perangkat lunak (sofware), dan cyberterorism adalah kejahatan yang dilakukan dengan cara mengancam, pemerintah atau warga negaranya, termasuk cracking ke situs pemerintah atau militer.

[25] Setiadi, Penegakan Hukum terhadap Pelaku Tindak Pidana Internet Banking, dalam Jurnal Hukum Teknologi, Volume nomor 1 Tahun 2005, LKHT FH UI, Depok, h. 20.

[26] Kejahatan yang murni merupakan tindakan kriminal adalah kejahatan yang dilakukan karena motif kriminalitas. Kejahatan jenis ini biasanya menggunakan internet hanya sebagai sarana kejahatan. Contoh kejahatan semacam ini adalah carding yaitu pencurian nomor kartu kredit milik orang lain untuk digunakan dalam transaksi perdagangan di internet. Cybercrime sebagai kejahatan abu-abu adalah cukup sulit menentukan apakah itu merupakan tindak kriminal atau bukan mengingat motif kegiatannya terkadang bukan untuk kejahatan salah satu contohnya adalah Probing.

[27] ibid

[28] Jenis kejahatan againts person sasaran serangannya ditujukkan kepada perseorangan atau individu yang memiliki sifat atau kriteria tertentu sesuai dengan tujuan penyerangan tersebut, Contoh: pornografi (membuat, memasang, mendistribusikan, menyebarkan materi berbau cabul serta mengekspos hal-hal yang tidak pantas), cyberstalking (mengganggu, melecahkan seseorang dengan memanfaatkan komputer, misalnya dengan menggunakan email; cyber-tressposs (melanggar area privasi orang lain, misal web hacking, breaking ke PC, probing). Jenis kejahatan againts property, adalah dilakukan untuk mengganggu atau menyerang hak milik orang lain, contoh pengaksesan komputer secara tidak sah, (carding, cybersquating, hijacking, data forgery). Jenis kejahatan againts goverment adalah kejahatan yang dilakukan dengan tujuan khusus penyerangan terhadap pemerintah, contoh cracking ke situs resmi pemerintah atau situs militer.

[29] Lihat dalam Marwan Mas, Pengantar ilmu Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2004, h. 80 – 94. hukum selain berfungsi sebagai alat politik juga memiliki fungsi sebagai sarana sosial kontrol, a tool of social engenering, asarana penyelesaian sengketa, pengendalian sosial dan pengintegrasian sosial.

[30] Lihat Soetandyo Wignyosoebroto, Hukum dan Masyarakat, Bayu Media Publishing, Malang, 2008, h. 8. bahwa hukum sebagai produk badan legislatif sebenarnya tidak bersifat netral dalam arti yang sesungguhnya, karena dalam prosesnya penuh muatan aspirasi dan titipan kepentingan politik. Lihat pula Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum, Perkembangan Motode dan Pilihan Masalah, Universitas Muhammadiyah Press, Surakarta, 2004, h. 81. dan Dahlan Thaib, Jazus Hamid, Nimatul Huda, Teori dan Hukum Konstitusi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, h. 78.

[31] Baca William J. Chambliss & Robert B. Seidman, Law, Order and Power, Reading, Mas Adisson – Wesly, 1971, h. 12. Baca juga Robert B. Seidman, Law and Development, A. General Model, dalam Law and Society Review, No VI, 1972. bahwa kekuatan-kekuatan sosial akan mempengaruhi proses bekerjanya hukum mulai dari tahap pembuatan undang-undang, sehingga memerlukan waktu yang relatif lama.

[32] Baca Lawrence M. Friedman, The Legal System a Social Science Perspective. Alih bahasa M. Khozim, Nusa Media, Bandung, 2009, h. 13 – 17. substansi hukum adalah berupa norma-norma hukum, baik itu peraturan-peraturan, keputusan-keputusan dan sebgainya yang semuanya itu dipergunakan oleh para penegak hukum oleh mereka yang diatur.

[33] Esmi Warasih, Pranata Hukum Sebuah Tealaah Sosiologi, Semarang, PT. Suryandaru Utama, 2005, h. 84.

[34] Sunoto, Mengenal Filsafat Pancasila. Pendekatan melalui etika pancasila, Hanindita, Yogyakarta, 1985 h. 5.

[35] Notonagoro, Pancasila Secara Ilmiah Populer, Pancuran Tujuh, Jakarta, 1975, h. 42.

[36] Robert Gilpin, The Political Economic of International Relation, Prosedom University Press, New Jersey, 1987, h. 111-119

[37] Dochak Latief, Pembangun Ekonomi dan Kebijakan Ekonomi Global, UMS Press, Surakarta, 2001, h. 103.

[38] Ibid.

[39] Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Suatu tinjauan Sosiologis, Genta Publishing, Yogyakarta, 2009, h. X.

[40] Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, PT Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2006, h. ix.

[41] Teguh Arifandi, Cybercrime dan upaya Antisipasinya Secara Yuridis, tersedia di http://www.depkominfo.go.id/portal?/act=detail&mod=artikel_itjen&view=1&1d=BRT061002182401, diakses 10 Juni 2009

[42] ibid

[43] ibid

[44] Menghancurkan adalah merusak sama sekali sehingga suatu barang tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya

[45] Merusakkan adalah perbuatan merusak data atau program komputer yang terdapat di internet dengan cara menghapus data atau program, membuat cacat data atau program, menambahkan data baru ke dalam suatu situs (web) atau sejenisnya secara acak. Dengan kata lan, perbuatan tersebut mengacaukan isi media penyimpannnya.

[46] membikin/membuat tidak dapat dipakai lagi adalah tindakan itu harus sedemikian rupa, sehingga barang itu tidak dapat diperbaiki lagi. Kaitannya dengan cybercrime adalah perbuatan yang dilakukan tersebut menyebabkan data atau program yang tersimpan dalam media penyimpan (data base) atau sejenisnya menjadi tidak dapat dimanfaatkan (tidak berguna lagi).

[47] Menghilangkan adalah membuat barang itu tidak ada lagi. Kaitannya dengan cybercrime yakni perbuatan mengilangkan atau menghapus data yang tersimpan pada data base –bisa juga tersimpan dalam suatu web- atau sejenisnya sehingga mengakibatkan semua atau sebagian dari data atau program menjadi hapus sama sekali.

[48] Wishnubroto, Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Penyalahgunaan Komputer, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, 1999, h.10

1 komentar:

  1. blog walking... nice posting pak... :D
    thanks..
    mampir ke blog saya yak :D

    BalasHapus

Silahkan beri komentar dengan baik, sopan dan tidak mengandung SARA !