Senin, 29 Juni 2009

KRISIS MONETER DILIHAT DARI TEORI HUKUM EKONOMI

Oleh : Sugiaryo

Pendahuluan

Situasi moneter dan perekonomian saat ini dalam kondisi memprihatinkan, karena sebagian besar masyarakat dunia menghadapi kesulitan. Keprihatinan tersebut ditandai oleh besarnya jumlah pengangguran sebagai akibat dari lesunya kegiatan ekonomi sehingga PHK terhadap tenaga kerja terjadi dimana-mana. Keadaan ini menyebabkan tingkat pendapatan penduduk semakin menurun atau kemelaratan semakin meluas. Hal ini berakibat daya beli masyarakat semakin lemah dan secara kumulatif melumpuhkan sebagian besar kegiatan ekonomi. Rendahnya daya beli masyarakat, juga terjadi karena masih tingginya tingkat inflasi.

Lesunya kegiatan ekonomi tidak hanya dialami oleh penguasa kecil dan menengah tetapi juga dialami oleh pengusaha besar. Penguasa kecil dan menengah menghadapi kesulitan, selain lesunya pasar juga karena kenaikan harga yang cepat sehingga sulit melakukan kalkulasi ongkos produksi. Lesunya kegiatan ekonomi yang dialami oleh pengusaha besar disebabkan karena jeratan utang luar negeri.

Keadaan tersebut diatas menimbulkan gejolak yang menyebabkan suatu distress dan melalui dampak penularan yang sistemik (kontagion effects) menjadi krisis. Krisis ini semula terjadi di sektor keuangan perbankan (moneter) kemudian melebar menjadi krisis ekonomi, yang secara sistemik melebar menjadi krisis sosial, politik, dan akhirnya krisis kepemimpinan[1]. Pertanyaannya adalah mengapa terjadi krisis moneter?, faktor-faktor apa saja yang menjadi penyebabnya?, adakah hubungan antara krisis moneter dengan teori hukum ekonomi?, serta bagaimanakah upaya penyembuhann terhadap adanya krisis moneter tersebut. Untuk menjawab pertanyaan tersebut diatas, pada makalah ini secara berturut-turut akan dibahas : Krisis moneter dan faktor penyebabnya, teori hukum ekonomi, keterkaitan krisis moneter dengan teori hukum ekonomi serta upaya penyembuhan terhadap krisis moneter.

Krisis Moneter dan Faktor Penyebabnya

Pada dasarnya krisis adalah merupakan akibat dari gejolak finansial atau ekonomi dalam perekonomian yang mengidap rawanan[2]. Kerawanan perekonomian dapat terjadi karena unsur-unsur yang pada dasarnya bersifat internal, seperti kebijaksanaan makro yang tidak suistainable, lemahnya atau hilangnya kepercayaan terhadap mata uang dan lembaga keuangan dan ketidakstabilan politik, atau yang berasal dari faktor eksternal, seperti kondisi keuangan global yang berubah, misalignment dari nilai tukar mata uang dunia (Dollar dengan Yen) atau perubahan cepat dari sentimen pasar yang meluas karena herd instinet dari pelaku dunia usaha.

Paul Krunger menggambarkan model pembangunan sebagai kapitalisme perkoncoan dimana Indonesia termasuk didalamnya. Jadi penyebab utama krisis bersumber dari dalam negeri (internal)[3]. Model pembangunan kepitalisme perkoncoan ini, akan mudah tejadi kolusi, korupsi, koncoisme dan nepotisme, atau dikenal dengan istilah KKN. Pelaksanaan model ini, di Indonesia menyebabkan presiden Soeharto pada waktu itu dikelilingi oleh unsur-unsur cycophant, yes-men, family, and cronies (penjilat, bapak senang, keluarga, dan konco-konco)[4].

Jeffry Sach menyatakan bahwa krisis moneter disebabkan oleh adanya sikap panik dari para pelaku usaha. Sikap panik ini dapat dilihat dari cepatnya reaksi para pengusaha, terlebih lagi investor asing yang bremain di pasar modal, ketika terjadi gejolak peso, baht, ringgit, dan terdepresiasinya rupiah terhadap US Dollar. Mereka segera menjual sahamya di pasar modal untuk kemudian menukarnya dengan Dollar dan memindahkanya ke negara lain[5]. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Yasraf Amir Piliang, juga menyatakan bahwa gejolak moneter yang melanda Amerika Serikat saat ini, juga disebabkan oleh adanya sikap panik dari para pelaku usaha[6]. Kepanikan ini tercermin pada kekacauan bursa saham, harga saham bertumbangan, para pialang mengalami shock, nasabah menyerbu bank, nilai tukar mata uang anjlok, kucuran dana pembangunan tersendat, transaksi perdagangan dihentikan, otoritas pemerintah kehilangan akal, dan urat nadi perekonomian global terancam bangkrut.

Krisis moneter yang melanda di Indonesia pada tahun 1998, sebenarnya merupakan imbas dari apa yang terjadi di Thailand. Mata uang Thailand atau Baht terpukul oleh serangan sepekulan. Perdana Menteri Thailand Chavalit Yon Chaiyudin (waktu itu menyatakan tidak kan mendefaluasi Baht). Nilai mata uang Baht diimbangkan terhadap Dollar, akibatnya nilai tukar Baht jatuh tajam terhadap Dollar, yakni dari 25 menjadi 56 Baht per 1 Dollar AS. Pasar saham Thailand, jatuh 75% pada tahun 1997. Finance one, perusahaan keuangan terbesar di Thailand bangkrut pada 20 Agustus 1997 Internasional Monetery Fund (IMF) menyetujui memberikan paket dana talangan sebesar 3,9 Milyar Dollar AS[7].

Krisis moneter di Thailand, yang ditandai dengan anjloknya nilai Baht terhadap Dollar berimbas ke rupiah. Nilai rupiah juga anjlok terhadap Dollar. Kepanikan semakin menjadi, ketika perusahaan yang tadinya banyak meminjam Dollar (ketika nilai tukar rupiah kuat) kini sibuk membeli Dollar untuk membayar bunga pinjaman mereka yang telah jatuh tempo dan harus dibayar dengan Dollar. Selanjutnya IMF datang dengan paket bantuan 23 Milyar Dollar. Bantuan ini tampaknya tidak mampu memperbaiki keadaan. Malahan berakhir menambah beban hutang yang harus ditanggung oleh rakyat Indonesia, karena penggunaanya banyak terjadi penyelewengan. Akibatnya inflansi dalam negeri Indonesia meningkat tajam. Sehingga sembakao maupun kebutuhan lain juga semakin melonjak naik berlipat ganda. Krisis ini memuncak ketika pada Mei 1998 Presiden Soeharto dipaksa mundur, setelah sebelumnya terjadi berbagai kerusuhan. Mundurnya Soeharto ini diperkirakan dapat meredakan krisis akan tetapi juga tidak dapat berhasil. Rupiah tetap bertahan sekitar Rp. 11.000/Dollar. Kecenderungan melemahnya rupiah semakin menjadi ketika terjadi penembakan mahasiswa Trisakti pada tanggal 12 Mei 1998 dan aksi penjarahan 14 Mei 1998. Kurs Rupiah terjun bebas mencapai Rp. 17.000/Dollar AS paling rendah dalam sejarah.

Krisis moneter yang terjadi di Amerika Serikat sejak pemerintahan George Bush, memuncak ketika bank-bank di Amerika Serikat harus menerima kenyataan tejadinya kredit macet dalam bidang perumahan, sekitar 5 Triliyun Dollar, yang mengguncang perekonomian Amerika Serikat. Bursa saham di Amerika Serikat dan negara-negara maju lainnya terguncang terjadi penurunan drastis, Indonesia terkena imbasnya. Bursa saham di Indonesia juga mengalami penurunan nilai tukar rupiah terhadap Dollar AS. Kekawatiran banyak banyak pihak, krisisi ini akan menyebabkan terulangnya kembali krisis pada tahun 1997-1998. namun kenyataanya, krisis ini tidak (atau belum) menimbulkan kepanikan terhadap kehidupan masyarakat. Harga-harga sembakao relatif stabil tidak menampakkan kenaikan, bahkan kebutuhan pokok serta minyak goreng, kedelai mengalami penurunan. Apalagi didukung dengan menurunya harga minyak di pasaran dunia.

Teori Hukum Ekonomi

Teori hukum adalah mengkaji pengertian-pengertian asas yang terkandung di dalam hukum positif tertentu[8]. Ruslan Saleh, menyatakan teori hukum adalah cabang ilmu pengetahuan hukum yang mempelajari berbagai aspek teoritis maupun praktis dari hukum positif tertentu secara tersendiri dan dalam keseluruhan nya secara interdespliner, yang bertujuan memperoleh pengetahuan dan penjelasan yang lebih baik, lebih jelas dan lebih mendasar mengenai hukum positif yang bersangkutan[9].

John Austin, menggolongkan teori hukum ke dalam dua macam, yaitu : Ekpositorial Jurisprudence, yaitu mengkaji hukum sebagaimana adanya (as it is) dan Censorial Jurisprundence, yaitu mengkaji hukum sebagaimana seharusnya (as it right to be)[10]. Salmon mengemukakan penggolongan yang berbeda, yakni Analytical Jurisprundence, yaitu analisis dari prinsip-prinsip utama hukum tanpa memperhatikan aspek historis maupun aspek etisnya, dan Historical Jurispridence, yaitu studi tentang perkembangan konsep hukum yang fundamental[11]. Philipus M. Hadjon mengemukakan bahwa teori hukum adalah merupakan ilmu eksplanasi hukum yang sifatnya interdisipliner. Eksplanasi dalam teori hukum sifatnya eksplanasi analisis. Sedangkan sifat interdisipliner dalam bidang kajian teori hukum meliputi : analisis bukan hukum, ajaran metode hukum, metode keilmuan, dogmatika hukum dan kritik ideologi hukum[12].

Sehubungan dengan ruang lingkup dan fungsunya, teori hukum diartikan sebagai ilmu dalam perspektif interdisipliner dan eksternal yang mana secara kritis menganalisis berbagai aspek gejala hukum, baik dalam konsepsi teoritisnya maupun manifestasi praktis[13]. Olah karena itu tidak mengherankan cabang-cabang ilmu seperti sosiologi, psikologi, dan athropologi telah memberikan sumbangan yang penting bagi perkembangan ilmu hukum. Bahkan beberapa ahli berpendapat bahwa prinsip-prinsip ekonomi dapat memberikan cara terbaik untuk mendeskripsikan, menjelaskan, dan menilai beberapa aturan dari suatu sistem hukum positif[14]. Dengan demikian prinsip-prinsip ekonomi dapat memberikan deskripsi tentang aturan-aturan hukum, menjelaskan mengapa masyarakat memilih peraturan tersebut, dan mengevaluasi peraturan-peraturan itu dan menentukan peraturan mana yang harus dimiliki oleh masyarakat[15]. Niccolo Machiavelli dala karyanya ”The Prince” adalah penulis pertama yang menyusun kebijakan ekonomi dalam bentuk nasihat. Dia melakukanya dengan menyatakan bahwa para bangsawan dan republik harus membatasi pengeluarannya, dan mencegah penjarahan oleh kaum yang punya maupun oleh kaum kebanyakan. Dengan cara itu, maka negara akan dilihat sebagai ”murah hati”, karena tidak menjadi beban berat bagi warganya[16]. Francis Bacon, salah seorang perintis merkantilism berpendapat bahwa seharusnya mengekspor barang lebih banyak dibandingkan jumlah yang diimpor sehingga luar negeri akan membayar selisihnya dalam bentuk Precions Metals. Merkantilistis juga berpendapat bahwa bahan mentah yang tidak dapat ditambang dari dalam negeri maka harus diimpor dan mempromosikan subsidi seperti penjaminan monopoli protective tariffs, untuk meningkatkan produksi dalam negeri dari manufactured goods[17]. Richard Cantillon, seorang sejarawan ekonomi yang dijuluki bapak ekonomi dalam tulisannya yang berjudul ”Essay on the natural Commeerce in General”, menekankan pada mekanisme otomatis dalam pasar yakni panawaran dan permintaan, peran vital dari kewirausahaan, dan analisis inflansi moneter ”Pra Austrian”, yang cangih yakni tentang bagaimana inflansi bukan hanya menaikkan harga tetapi juga mengubah pola pengeluaran[18]. Adam Smiths, dalam bukunya ”The wealth of nations”, menjelaskan bahwa persaingan adalah kekuatan yang tidak terlihat, industrial capitalism, memberi kemungkinan bagi akumulasi modal yang luas, menyatakan kebebasan universal atau kebebasan alamiah serta pasar modal adalah awal kemakmuran[19]. Karl Marx, menggabungkan berbagai aliran pemikiran, dengan mengktitik ekonomi pasar. Karl Marx menginginkan kemajuan tetapi membenci kaum kapitalis, sifatnya sama rata-sama rasa, kapitalis merupakan cacat alamiah, hanya mengeksploitasi buruh, menentang mesin dan teknologi, karena dapat menyebabkan pengangguran[20]. John Maynard Keynes dalam karyanya yang berjudul ”General theory of Employ ment, interest and money”, mengemukakan gagasanya tentang keberadaan central banking dan campur tangan pemerintah dalam hubungan ekonomi, ia juga menyampaikan kritik terhadap ekonomi klasik dan juga mengusulkan metode “managenent of aggregate demand”[21].

Keterkaitan Krisis Moneter Dengan Teori Hukum Ekonomi

Sebelum membahas keterkaitan krisis moneter dengan teori hukum ekonomi, maka untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas mengenai keterkaitan dari kedua hal tersebut, perlu kiranya dipaparkan secara kronologis terjadinya krisis moneter di Indonesia tahun 1998 dan krisis moneter di Amerika Serikat tahun 2008.

Sebelum krisis, ekonomi Indonesia tumbuh sangat pesat pendapatan per kapita meningkat dua kali lipat antara tahun 1990 dan 1997. Perkembangan ini didukung oleh kebijakan moneter yang stabil, dengan tingkat inflansi dan bunga yang rendah, nilai tukar rupiah terkendali rendah, dengan APBN yang berimbang serta kebijakan ekspor yang tidak saja tergantung pada sektor migas. Kesuksesan ini disatu pihak menimbulkan optimistis dan di lain pihak menimbulkan keteledoran. Kesuksesan pembangunan ekonomi di Indonesia memukau para kreditur asing yang menyediakan kredit tanpa batas dengan tidak meneliti terhadap proyek-proyek yang diberi kredit. Selain itu kegiatan ekonomi didalam negeri juga lepas dari pengawasan. Kredit jangka pendek diinvestasikan dalam jangka panjang. Sementara itu terjadi pula perombakan drastis dalam strategi pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi yang selama ini adala state and goverment led beralih menjadi led by private inisiative and market. Hutang pemerintah turun dari USD 80 Milyar menjadi USD 50 Milyar diakhir tahun 1996. Sementara hutang swasta membubung sangat cepat, yakni pada awal 1996 sebasar USD 15 Milyar dan diakhir tahun 1996 menjadi USD 75 Milyar. Dalam waktu yang sangat cepat bertebaran Bank-Bank Swasta di tanah air. Privatisasi/swastanisasi berjalan terus tanpa kendali dan penuh KKN. Maka ketika diserang krisis mata uang, situasi kondisinya belum siap, terutama dunia perbankan. Sehingga terjadilah krisis moneter yang kemudian menjadi krisis ekonomi dan selanjutnya meluas menjadi krisis sosial. Restrukturisasi perbankan tidak mempan, sektor finansial tetap memburuk. Dampaknya adalah pengangguran meningkat, kemiskinan merajalela, utang nasional menumpuk. Sektor tradisional/informal yang selama ini dianggap penghambat pertumbuhan ekonomi, memainkan peran yang cukup berarti karena dapat menggantikan sektor ekonomi modern yang ambruk. Mereka yang di PHK, dengan semangat kekeluargaan tertampung disektor tradisional/informal[22].

Gejolak moneter yang melanda di Amerika Serikat seperti yang telah dikemukakan pada pembahasan sebelumya bahwa tidak saja menggoncang sendi-sendi ekonomi Amerika Serikat, tetapi juga menimbulkan kepanikan global. Hal tersebut tercermin pada kacaunya bursa saham, harga saham bertumbangan, para pialang mengalami shock, investor dilanda kepanikan, nasabah menyerbu Bank nilai tukar mata uang anjlok, kucuran dana untuk pembangunan tersendat, transaksi perdagangan dihentikan, otoritas pemerintah kehilangan akal, dan urat nadi perekonomian global terancam bangkrut.

Gejolak moneter di Amerika Serikat adalah konsekuensi dari sistem perekonomian ”pasar bebas dan ideologi (neo) liberalisme”. Sistem pasar bebas dengan minimalisme pengendalian negara setidaknya mengasilkan empat watak kultural: 1) orbital, berupa perputaran ekonomi moneter yang mengglobal; 2) virtual, dengan sektor moneter yang bersifat maya; 3) viral, dengan penjalaran efek ekonomi yang cepat bak virus; dan 4) banal, dengan sistem ekonomi yang merayakan konsumerisme remeh-temeh.

Jean Baudrillard dalam Fatal Strategis (1990) menggambarkan kondisi kultural ekonomi macam itu melalui metafora kosmologi ”orbit” (orbital). Sistem moneter layaknya sebuah orbit, yaitu garis edar mata uang berputar mengelilingi ”sektor riil” sebagai titik pusat orbit, tetapi terpisah darinya. Bisnis keuangan berlangsung di sektor moneter, tanpa bersentuhan dengan sektor riil. Triliunan dollar AS diperjualbelikan di pasar modal, tetapi hanya sebagian diputar di sektor riil.

Dalam sistem ekonomi itu, peran mata uang terlalu besar, mendeterminasi fluktuasi ekonomi. Sementara sistem moneter sendiri kini bersift virtual, dengan sistem virtual money dan perputaran kian cepat dan real time. Hazel Henderson dalam Paradigms ini Progress: Life Beyond Economics (1991) menyebutkan, percepatan sistem moneter meningkatkan ketidakpastian, indeterminasi, dan turbulensi ekonomi, yang rentan tehadap resiko krisis, kemacetan, bahkan kehancuran.

Kondidi kesaling terhubungkan dalam kesaling tergantungan global telah menciptakan budaya ekonomi global sebagai “jejaring terbuka” (open network) – laaknya jejaring internet – yang rawan teradap serangan virus spekulasi dan kemacetan. Serangan virus (kemacetan likuiditas) disebuah tempat (seperti AS) dengan cepat menjalar ke seluruh jejaring global tanpa ada yang tersisa. Inilah “efek kupu-kupu” (buttefly effect) dalam jaringan chaos sistem ekonomi pasar bebas yang rentan.

Celakanya, sistem ekonomi moneter itu amat tergantung pada “sistem konsumsi”, khususnya konsumsi barang mewah dan banal, sebagai “alibi” agar modal terus berputar dan berakumulasi. Sistem ekonomi merayakan gaya hidup konsumerisme yang bersifat banal: kemewahan, lifestyle shooping, dan hiperkomoditi. Sebaliknya, segala kemewahan itu bergantung pada kondisi moneter karena produk mewah diproduksi melalui uang bank. Inilah “lingkaran setan” ekonomi moneter.

Gejolak moneter tidak saja mengguncang fondasi ekonomi global, tetapi mengangkat kembali masalah “etika kapitalisme”. Bencana krisis moneter adalah buah tindak ekonomi yang terlepas dari etika sosial. Padahal, tindak ekonomi seharusnya dilandasi etia sosial karena terkait masalah hak, kebebasan, keutamaan (virtue), kepercayaan (trust), dan tanggung jawab. Dalam kondisi krisis, pengabaian etika sosial kian dirasakan efeknya.

Etika liberalisme ekonomi, khususnya di AS, menurut Paul Tillich dalam The Corange to Be (1980), dicirikan oleh etika “keberanian eksperimen” dan “berspekulasi”. Setiap individu bebas bereksperimen dan berspekulasi tentang apapun; siap menghadapi segala “resiko”, “kegagalan”, “krisis” dan “bencana” (katastrofe), dan kegagalan tak menyurutkan “keberania” (courage). Inilah etika “keberanian individualistik – liberal”.

Namun, dalam sistem “ekonomi jejaring” (network economy), dimana pelaku ekonomi saling terhubung dan bergantung secara global, etika “keberanian spekulasi” individual saja tidak cukup, harus disertai etika “keberanian bertanggung jawab” secara sosial (courage of responsibility). Ironisnya, dalam sistem jejaring ekonomi liberal, orang lebih mudah melempar tanggung jawab karena minimnya etika sosial dan kebersamaan, seperti ditunjukkan Direktur Lahman Brothers Richrd Fuld.

Ekonomi yang telah bertransformasi menjadi semacam “dromonomik” (dromononics), yaitu “sistem ekonomi gerak cepat” (dromos = berlari kencang) dan “megalonomik” (megalonomics), yaitu “ekonomi serba raksasa” menggiring pada situasi dimana kecepatan dan “keraksasaan” telah diluar kendali manusia, yang menyebabkan orang kehilangan kontrol akibat kelengahan, data yang keliru, umpan balik terlambat, informasi tak memadai, atau respons terlalu lambat.

Institusi ekonomi yang merayakan “keutamaan individualistik” mengabaikan “aneka keutamaan sosial”, seperti tanggung jawab, kebersamaan, dan keadilan sosial. Alasdair Maclntyre dalam vurtue (1999) mengatakan, institusi tanpa keutamaan sosial akan keropos, korupsi, dan rentan penghancuran diri sendiri (self-desruction). Disana mudah disembunyikan kesalahan, kebodohan, dan kegagalannya dibalik “kambingb hitam jaringan” yang terlanjur rusak pula.

UPAYA PENYEMBUHAN TERHADAP KRISIS MONETER

Dochak Latief [23] mengemukakan bahwa terdapat beberapa kebijakan yang dirasa sangat penting untuk mengatasi krisis moneter, diantaranya adalah: (1) mengembalikian kepercayaan pemerintah. Hal ini merupakan persyaratan pokok untuk efektifnya kebijakan pemerintah baik dibidang ekonomi, politik, (2) perombakan model pembangunan, (3) merubah perimbangan kebijakan ekonomi luar negeri dan dalam negeri secara lebih berimbang untuk mengurangi ketergantungan pada ekonomi global dan memanfaatkanya secara maksimal, (4) serta perbankan jelas perlu segera disehatkan dengan tetap menjaga keseimbangan dengan sektor keuangan yang lain, namun tidak sampai mengorbankan kepentingan rakyat banyak, (5) kebijakan yang berkait dengan usaha mewujudkan kurs yang stabil. Ada tiga alternatif yang ditawarkan yang kiranya sama berisiko tinggi, yaitu sistem devisa bebas seperti Indonesia sekarang ini, kontrol devisa secara penuh atau sistem bebas terkendali seperti sebelum krisis ekonomi, (6) menyelesaikan permasalahan pri dan non pri, kaitanya dengan usaha memperbaiki hubungan yang lebih rasionil dan objektif yang memungkinkan terjadinya pengaturan untuk kerjasama saling menguntungkan seperti dilaksanakan di Malaysia dengan The New Economic Policy.

Soedrajad Djiwandono[24] mengemukakan bahwa yang: Pertama kali agar bangsa dapat keluar dari krisis yang melanda kehidupan ekonomi, sosial dan politik adalah dengan cara menghentikan Hemorr hage yang terus berlangsung selama ini. Kedua, perlu adanya kestabilan politik, perlindungan hukum dan jaminan terhadap HAM, bagi pelaku pasar. Ketiga, kebiasaan dalam prakte-praktek yang tidak mendukung pembangun yang berkesinambungan (sustainable) harus dihidarkan. Semua pelaku harus memperhatikan prinsip kehati-hatian. Keempat, secara individual maupun secara keseluruhan kegiatan dari pelaku pasar dan masyarakat luas harus menyesuaikan diri dengan kemampuan. Kelima, bagi pelaku dunia usaha swasta perlu ada kesadaran hukum bahwa masalah ekonomi yang kita hadapi dewasa ini sering dikataka timbul bukan karena anggaran pemerintah yang kurang tetapi sektor swasta yang kurang prinsip kehati-hatian (ekspansi yang berlebihan pada proyek-proyek yang kurang produktif), cenderung menimbulkan Bubbles yang mudah busting, dengan sumber pembiayaan yang beresiko tinggi dalam bentuk pinjaman jangka pendek dari luar untuk pembiayaan proyek yang kurang produktif yang berjangka panjang. dan Keenam, memerangi praktek KKN, hal ini bukan hanya dijadikan slogan saja.

Didik. J Rachbini[25] mengemukakan bahwa dalam rangka menagatasi krisis yakni dengan menerpkan ekonomi kerakyatan tetapi ridak boleh bersifat isolatif terhadap ekonomi global. Daniel Bell, sosiolog dari Harvard mengatakan bahwa pembangunan ekonomi, politik dan sosial akan menjadi semakin global dan saling terkait antar satu negara nengan negara yang lain, hal ini menunjukkan bahwa masalah pembangunan ekonomi bukan hanya menjadi milik satu negara atau sekelompok negara dalam satu kawasan tertentu saja, melainkan merupakan tanggung jawab yang harus diselesaikan secara bersama.

Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan tersebut diatas dapat dikemukakan kesimpulan sebagai berikut:

  1. Krisis moneter adalah merupakan akibat dari gejolak finansial atau ekonomi dalam perekonomian yang mengidap kerawanan.
  2. Kerawanan perekonomian terjadi karena dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal antara lain adanya kebijakan makro yang tidak sustainable, lemahnya atau hilangnya kepercayaan terhadap mata uang dan lembaga keuangan serta adanya ketidakstabilan politik, adanya KKN. Faktor eksternal antara lain berupa kondisi keuangan global yang berubah, misaligment dari nilai tukar mata uang dunia atau perubahan cepat dari sentimen pasar yang meluas karena herd instinet dari pelaku dunia usaha, keserakahan sektor modern akan kredit dan sebagainya.
  3. Dilihat dari teori hukum ekonomi terjadinya krisis moneter disebabkan karena penerapan teori hukum ekonomi yang tidak konsisten dan/atau penerapan hukum ekonomi yang kurang memperhatikan situasi dan kondisi internal dalam negara yang bersangkutan. Selain itu masing-masing teori ekonomi mengandung kelemahan yang mana kelemahan tersebut kurang menjadi perhatian.
  4. Dalam upaya mengendalikan terjadinya krisis tidak perlu diadakan dokotomii antara teori ekonomi tradisional dengan teori ekonomi modern melainkan harus diintegrasikan.

Daftar Pustaka

Benard Arif Shidarta, Refleksi Tentang Standar Ilmu Hukum,Mandar Maju, Bandung, 2007.

Berfield dan Jose Manuel T Soro, Asian week, 28 Januari, 1998.

Chatamarasjid, Hubungan Teori Hukum dengan Cabang-cabang Ilmu Pengetahuan yang lain, Bahan kuliah program Doktor Ilmu Hukum, Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 18 September 2000.

-----------------, Peranan Hukum Dalam Pembangunan Ekonomi, Bahan Kuliah Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2008.

Didik. J Rachbini, Khasanah Pemikiran Ekonomi Indonesia, LP3ES, Jakarta, 1998.

Dochak Latief, Pembangunan Ekonomi dan Kebijakan Ekonomi Global, Muhammadiyah University Press, Surakarta, 2001.

------------------, Pembangunan Ekonomi dan Kebijakan Ekonomi Global, UMS Press, Surakarta, 2001.

Frans Seda, Krisis Moneter Indonesia (makalah pada seminar nasional di Universitas Widya Mandala Surabaya, 21 Juni 2001).

Khomariddin Hidayat, Yasraf Amir Piliang, Kosmologi Krisis Moneter, Kompas, 10 November 2008.

Kotler Philip, The Marketing of Nation, the free Press, New York, 1997.

Lili. Rasjidi, Ira Thania Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum, Penerbit Mandar Maju, Bandung, 2007.

Philipus M.Hadjon dan Tatiek Sri Djamiati, Argumentasi Hukum, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2005.

Soedradjad Djiwandono, Krisis dan Pembaharuan Ekonomi Moneter,(makalah seminar pembaharuan bangsa oleh forum bakti kristiani), Jakarta, 17 Juni 1998.

http://www.gemadepok.com/index.php.mod, diakses 14 Pebruari 2009.

http://id.wikipedia,org/wiki/sejarahekonomi,diakses 15 Pebruari 2009.

http://mutiarakeadilan.blogspot.com/2008/01/hukum-ekonomi.html, diakses 15 Pebruari 2009

http://id.wikipedia.org/wiki/sejarahteori ekonomi, diakses 15 Pebruari 2009

KRISIS MONETER DILIHAT DARI TEORI HUKUM EKONOMI




Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Teori Hukum

Pengampu :

Prof. Dr. Chatamarasjid SH, MH

Oleh :

Sugiaryo

NIM. T310908009

PROGRAM DOKTOR ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2009



[1] Soedradjad Djiwandono, Krisis dan Pembaharuan Ekonomi Moneter,(makalah seminar pembaharuan bangsa oleh forum bakti kristiani), Jakarta, 17 Juni 1998. h. 3.

[2] Ibid.

[3] Dochak Latief, Pembangunan Ekonomi dan Kebijakan Ekonomi Global, Muhammadiyah University Press, Surakarta, 2001, h. 28.

[4] Berfield dan Jose Manuel T Soro, Asian week, 28 Januari, 1998, h.16.

[5] Khomariddin Hidayat, Zero Trust Society, Kompas, 18 September 2000.

[6] Yasraf Amir Piliang, Kosmologi Krisis Moneter, Kompas, 10 November 2008.

[8] Chatamarasjid, Hubungan Teori Hukum dengan Cabang-cabang Ilmu Pengetahuan yang lain, Bahan kuliah program Doktor Ilmu Hukum, Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

[9] Ibid.

[10] Lili. Rasjidi, Ira Thania Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum, Penerbit Mandar Maju, Bandung, 2007, h. 35.

[11] Ibid.

[12] Philipus M.Hadjon dan Tatiek Sri Djamiati, Argumentasi Hukum, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2005, h. 5.

[13] Benard Arif Shidarta, Refleksi Tentang Standar Ilmu Hukum,Mandar Maju, Bandung, 2007, h.122.

[14] Ibid.

[15] Chatamarasjid Ais, Peranan Hukum Dalam Pembangunan Ekonomi, Bahan Kuliah Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2008.

[17] Kotler Philip, The Marketing of Nation, the free Press, New York, 1997, h. 98.

[18] Ibid.

[20] Ibid.

[21] http://id.wikipedia.org/wiki/sejarahteori ekonomi, diakses 15 Pebruari 2009

[22] Frans Seda, Krisis Moneter Indonesia (makalah pada seminar nasional di Universitas Widya Mandala Surabaya, 21 Juni 2001).

[23] Dochak Latief, Pembangunan Ekonomi dan Kebijakan Ekonomi Global, UMS Press, Surakarta, 2001, h. 32-35.

[24] Soedrajad Djiwandono, Op.Cit, h. 16-19.

[25] Didik. J Rachbini, Khasanah Pemikiran Ekonomi Indonesia, LP3ES, Jakarta, 1998, h. 49.

KEMERDEKAAN DAN KEMANDIRIAN MAHKAMAH AGUNG DAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM KEKUASAAN KEHAKIMAN

Oleh : Sugiaryo **)

A. LATAR BELAKANG MASALAH
Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Istilah negara hukum ini sering diterjemahkan Rechtstaats atau The Rule of Law. Paham Rechtstaats pada dasarnya bertumpu pada sistem hukum Eropa kontinental. Paham ini mulai populer pada abad ke XVII sebagai akibat dari situasi politik Eropa yang didominir oleh absolutisme Raja[1]. Paham ini antara lain dikembangkan oleh Imanuel Kant dan Friedrich Julius Stahl[2]. Sedangkan paham The Rule of Law ini bertumpu pada sistem hukum Anglo Saxon atau Common Law System[3]. Paham ini antara lain dikembangkan oleh Albert Venn Dicey[4]. Konsep negara hukum dengan istilah Rechtstaats, mencakup 4 elemen yaitu perlindungan hak asasi, pembagian kekuasaan, pemerintahan berdasarkan Undang-Undang dan Peradilan Tata Usaha Negara. Sedangkan konsep negara hukum dengan istilah The Rule of Law mengandung tiga ciri pokok, yaitu: supremacy of law, equality before the law, dan Due Process of Law. Keempat elemen Rechtstaats dan ketiga ciri dari The Rule of Law tersebut menandai ciri-ciri negara hukum modern di jaman sekarang. Bahkan oleh The International Commission of Jurist, prinsip-prinsip negara hukum tersebut ditambah satu lagi dengan prinsip peradilan bebas dan tidak memihak[5]. Selain itu juga dirumuskan ciri-ciri pemerintahan demokratis dibawah Welfarestate (negara kesejahteraan) yakni melipiuti: (1) perlindungan konstitusional, artinya selain menjamin hak-hak individu, konstitusi juga harus menentukan prosedur untuk memperoleh perlindungan hak-hak yang dijamin., (2) badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak, (3) pemilihan umum yang bebas, (4) kebebasan menyatakan pendapat, (5) kebebasan berserikat atau berorganisasi dan beroposisi, dan (6) pendidikan kewarganegaraan[6].
Secara yuridis formal, penegasan negara hukum dalam konstitusi adalah merupakan rasionalitas hukum tertinggi dalam suatu negara. Dalam konteks ini negara hukum erat kaitannya dengan konstitusionalisme. Konstitusionalisme adalah paham yang menghendaki adanya pembatasan kekuasaan negara untuk tujuan melindungi hak asasi manusia dan kebebasan warga negara[7]. Daniel S. Lev. Menjelaskan bahwa pada intinya konstitusionalisme adalah merupakan proses hukum[8]. Carl J. Federich, konstitusionalisme diartikan serangkaian aktifitas yang diatur dan dilaksanakan demi kepentingan rakyat tetapi tunduk pada sederetan batasan yang berupaya untuk memastikan bahwa kekuasaan yang diperlukan bagi pengelolaan negara tidak disalahgunakan oleh orang-orang yang diserahi tugas untuk melaksanakan pemerintahan[9]. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, dijelaskan bahwa konstitusionalisme adalah sebuah paham mengenai pembatasan kekuasaan dan jaminan hak-hak rakyat melalui konstitusi[10]. Dalam pengertian yang lebih luas jangkauannya, menurut Soetandyo Wignyosoebroto ide konstitusi disebutnya sebagai konstitusionalisme, dan digambarkan bahwa paradigma hukum perundang-undangan sebagai penjamin kebebasan dan hak, yaitu dengan cara membatasi secara tegas dan jelas mana kekuasaan yang terbilang kewenangan dan manapula yang apabila tidak demikian harus dibilang sebagai kesewenang-wenangan[11].
Dengan mencermati ketentuan dalam pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta perkembangan konsep negara hukum, maka salah satu prinsip penting negara hukum adalah adanya jaminan peradilan (penyelenggaraan kekuasaan kehakiman) yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan pemerintah, seperti yang disebutkan pada penjelasan Pasal 24 dan Pasal 25 Undang-Undang Dasar 1945 (yang asli).
Sebagai masyarakat hukum, lembaga peradilan diharapkan dapat memberikan jaminan terhadap hak-hak masyarakat sehingga rasa keadilan dan kebenaran hukum berpihak pada yang benar. Namun harapan tersebut pada masa pemerintahan orde lama belum dapat diwujudkan, karena pada masa ini berdasarkan Undang-undang Nomor 19 Tahun 1964 telah diatur campur tangan presiden dalam peradilan, ketua Mahkamah Agung diangkat menjadi menteri (pembantu presiden). Dengan demikian kekuasaan kehakiman yang merdeka menurut Undang-Undang Dasar 1945 telah dihapuskan oleh undang-undang yang lebih rendah.
Pada awal masa orde baru, praktek peradilan jaman orde lama tersebut telah dikoreksi yaitu dengan lahirnya Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970. Upaya pemurnian Pasal 24 dan Pasal 25 Undang-Undang Dasar 1945 telah ditegaskan kembali dalam undang-undang Nomor 14 Tahun 1970, yang antara lain disebutkan dalam Pasal 2 yaitu: ”Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan”. Selanjutnya dalam penjelasannya juga ditegaskan bahwa kekuasaan kehakiman yang merdeka mengadung arti kekuasaan kehakiman yang bebas dari campur tangan pihak kekuasaan negara lainnya. Penegasan ini juga diulang kembali dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung, yang menyebutkan: ”Mahkamah Agung adalah pengadilan negara tertinggi dari semua lingkungan peradilan yang dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari pengaruh pemerintah dan pengaruh-pengaruh lain”.
Secara normatif, kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bebas dari campur tangan pihak lain memang telah ditegaskan kembali, namun dalam prakteknya harapan tersebut juga belum dapat diwujudkan. Hal ini dapat dilihat dari putusan yang dikeluarkan cenderung mementingkan pihak yang mempunyai ”kedekatan khusus”, baik secara personal maupun secara kelembagaan. Lembaga peradilan pada saat itu tetap dijadikan corong bagi kepentingan penguasa (pemerintah). Masyarakat hanya dijadikan objek oleh penyelenggara negara sehingga masyarakat dibuat tunduk dan tidak bisa berbuat kritis terhadap pemerintah.
Sampai pada akhir masa pemerintahan orde baru, proses demokrasi hukum belum berjalan sesuai dengan harapan. Lembaga peradilan sebagai lembaga kekuasaan negara yang mandiri mengalami kemandulan. Proses hukum yang dijalankan oleh lembaga peradilan banyak diintervensi pihak luar, jual beli perkara bukan merupakan rahasia lagi[12], sehingga bagi sebagian masyarakat bukan kebenaran lagi yang dicari di pengadilan melainkan kemenanganlah yang dijadikan tujuan akhir. Kenyataan ini membuat masyarakat menjadi kecewa dan tidak lagi percaya kepada Pengadilan. Situasi inilah yang kemudian mendorong Prof. Dr. Adi Sulistiyono menulis buku dengan judul ”Krisis Lembaga Peradilan di Indonesia”[13]. Kekecewaan ini akhirnya tidak dapat dipendam lagi dan puncaknya pada tanggal 21 Mei 1998 secara serentak masyarakat melakukan gerakan untuk menggulingkan rezim orde baru. Gerakan inilah kemudian sering disebut gerakan reformasi[14].
Pada masa reformasi rakyat menyimpan berbagai harapan bahwa proses demokrasi akan berjalan dengan lancar. Jika proses demokrasi berjalan maka diharapkan keadilan hukum pun dapat terwujud. Namun ternyata pemerintahan Gus Dur pada saat itu tidak bisa membawa perubahan yang berarti bagi perbaikan lembaga peradilan. Masih adanya intervensi dari pemerintah (eksekutif) terhadap lembaga peradilan (yudikatif) merupakan suatu indikasi bahwa kekuasaan kehakiman belum bisa bebas dan mandiri, terlepas dari pengaruh lembaga lain. Hal ini ditujukkan dalam kasus Tommy Soeharto, adanya pertemuan antara Gus Dur dengan terpidana Tommy Soeharto di Hotel Borobudur. Apapun alasanya tidak dibenarkan Presiden mengadakan pertemuan dengan seorang terpidana. Karena secara tersirat pertemuan ini bisa mempengaruhi proses eksekusi Tommy Soeharto.
Seharusnya lembaga peradilan ini sebagai lembaga yudikatif harus independen dalam mejalankan fungsinya, tetapi hal ini masih sulit karena secara organisatoris, administratif dan finansial masih berada di bawah Departemen masing-masing, kecuali di Mahkamah Agung. Sebagaimana disebutkan dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 Pasal 11[15]. Guna memulihkan kembali kekuasaan kehakiman yang mendiri, maka Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 direvisi dengan dikeluarkannya Undang-undang Nonmor 35 Tahun 1999, terutama pasal 11[16].
Sistem dua atap yang diatur dalam undang-undang Nomor 14 tahun 1970, yang berubah menjadi satu atap dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 masih ada kelemahan, karena fungsi organisatoris, administratif, dan finansial dalam satu atap tetap diperlukan adanya lembaga yang independen untuk melakukan pengawasan terhadap kinerja kelembagaan peradilan sampai sistem dan mental para hakim sudah baik. Sedangkan lembaga independen itu sendiri sampai saat ini belum terbentuk walaupun sudah banyak aspirasi yang menghendaki lembaga independen ini. Kelemahan lain adalah bahwa dalam pasal 11a undang-undang nomor 35 Tahun 1999 yang mensyaratkan bahwa tata cara pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial tersebut ditetapkan dengan ketetapan Presiden. Ini menujukkan masih adanya idikasi campur tangan eksekutif terhadap lembaga peradilan sebagai lembaga yudikatif.
Perihal intervensi dari pihak luar dalam proses hukum yang dijalankan oleh lembaga peradilan juga disampaikan oleh Mahkamah Agung dalam laporan sidang tahun 2000. Dalam laporannya disebutkan adanya penyalahgunaan jabatan atau profesi yang dilakukan oleh oknum hakim dan aparat badan peradilan dalam melaksanakan profesi dan tugasnya dilakukan secara sporadis, tidak terorganisir. Kondisi ini membuat masyarakat semakin tipis kepercayaannya terhadap lembaga peradilan.
Kebebasan kekuasaan kehakiman dalam konteks mewujudkan peradilan yang mandiri, tidak hanya menyatu atapkan pembinaan dan pengawasan, tetapi juga dimaksudkan untuk memandirikan hakim dan lembaga Mahkamah Agung. Seorang fungsionaris Mahkamah Agung dan lingkungan peradilan lainnya harus dibebaskan dan dilepaskan dari segala intervensi dari pengaruh kekuasaan negara lainnya, dan hakim sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman tidak boleh menundukkan diri pada visi dan kepentingan politik pemerintah.
Secara politik kekuasaan kehakiman harus didukung oleh pemisahan yang tegas antara lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Hal ini telah diisyaratkan dalam ketetapan MPR RI Nomor X/MPR/1998, yang menyatakan bahwa perlunya memisahkan yang tegas antara kekuasaan eksekutif dan yudikatif, sehingga tercipta adanya cheks and balances dalam sistem politik.
Pemisahan secara tegas harus diikuti dengan pemberian otonomi secara utuh kepada yudikatif, baik yang berkaitan dengan kemandirian organisasi, administrasi, finansial, yudisial review, supervisi, konsultatif, maupun substantif yang merupakan prinsip-prinsip universal dari kemerdekaan dan kemandirian kekuasaan kehakiman.
Sebagai negara hukum, Indonesia juga harus melaksanakan secara utuh dan konsekuen prinsip-prinsip universal dari kemerdekaan dan kemandirian kekuasaan kehakiman. Oleh karena itu segala peraturan perundang-undangan, kebijakan dan lembaga-lembaga yang bertentangan dengan jiwa dan prinsip dari kemerdekaan dan kemandirian kekuasaan kehakiman, harus direvisi dan diamandemen.
Amandemen (perubahan) Undang-Undang Dasar 1945 ketiga Tahun 2001 dan keempat tahun 2002 terutama Pasal 24, adalah merupakan bentuk upaya untuk melaksanakan secara utuh dan konsekuen prinsip-prinsip universal dari kemandirian dan kebebasan kekuasaanm kehakiman, serta mempertegas tugas kekuasaan kehakiman dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, yakni menyelenggarakan peradilan yang merdeka, bebas dari intervensi pihak manapun guna menegakkan hukum dan keadilan.
Sebelum perubahan (amandemen), bab tentang kekuasaan kehakiman terdiri atas dua Pasal yaitu Pasal 24 dan Pasal 25. Setelah diubah menjadi lima Pasal, sehingga lebih rinci dan lebih lengkap yaitu Pasal 24, Pasal 24A, Pasal 24B, Pasal 24C, dan Pasal 25. Pada perubahan ketiga (Tahun 2001) diputus Pasal 24 ayat 1 dan ayat 2 (kecuali Pasal 24 ayat 3, diputus pada perubahan keempat tahun 2002), Pasal 24A, Pasal 24B, dan Pasal 24C. Sedangkan Pasal 25 tetap tidak diubah.
Pada Pasal 24 ayat 2 selain badan kekuasaan kahakiman yang telah ada yaitu Mahkamah Agung, dan badan peradilan yang berada dibawahnya, dibentuk satu lembaga peradilan baru yaitu Mahkamah Konstitusi (MK) dengan wewenang tertentu, sebagai berikut: (1) menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, (2) memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, antara lain: Presiden, MPR, DPR, DPD, MA, dan BPK. Sedangkan perbedaan pendapat di dalam Mahkamah Konstitusi sendiri diputuskan melalui mekanisme internal Mahkamah Konstitusi, (3) memutus pembubaran Partai Politik, dan (4) memutus perselisihan hasil pemilihan umum.
Pembentukan Mahkamah Konstitusi adalah sejalan dengan dianutnya paham negara hukum dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam negara hukum harus dijaga paham konstitusional, artinya tidak boleh ada Undang-Undang dan peraturan perUndang-Undangan lainnya yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Hal ini sesuai dengan penegasan bahwa Undang-Undang Dasar sebagai puncak dalam tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia[17]. Pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 membutuhkan sebuah Mahkamah dalam rangka penjaga prinsip konstitusionalitas hukum. Mahkamah Konstitusilah yang bertugas menjaga konstitusionalitas hukum tersebut[18].
Dalam rangka mempertegas kedudukan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi dalam kekuasaan kehakiman, yakni menyelenggarakan peradilan yang merdeka dan mandiri, guna menegakkan hukum dan keadilan, perubahan (amandemen) Pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945 tersebut juga diikuti dengan ditetapkannya Undang-Undang baru, sebagai berikut : (1) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi., (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman sebagai perubahan terhadap penyelenggaraan kekuasaan kehakiman berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 sebagaimana telah direvisi dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999, (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung.
Jur A. Hamzah dan Paulus E. Lotulung membedakan pengertian merdeka dan mandiri dalam menyelenggarakan peradilan. Merdeka diartikan bebas dari pengaruh eksekutif maupun segala kekuasaan negara lainnya dan kebebasan dari paksaan, direktiva atau rekomendasi yang datang dari pihak ekstra yudisial, kecuali dalam hal yang diijinkan oleh Undang-Undang. Demikian pula meliputi kebebasan dari pengaruh internal yudisial didalam menjatuhkan putusan[19]. Sedangkan mandiri diartikan berada dibawah atap sendiri tidak berada dibawah atap departemen atau badan lain[20].
Namun demikian dalam tulisan ini tidak bermaksud melepas pisahkan pengertian merdeka dan mandiri, karena kemerdekaan dan kemandirian Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah perihal kemerdekaan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi yang meliputi kemandirian personal (personal yudicial independence), kemandirian substansial (substantive yudicial independence), kemandirian internal (internal yudicial independence) dan kemandiran institusi (institutions yudicial independence).
Kemandirian personal, mengandung pengertian bahwa seorang hakim dalam mengambil putusan tanpa campur tangan dari koleganya (teman sejawat, pimpinan(atasanya), ataupun dari institusi kehakiman itu sendiri). Kemandirian substansial, artinya kemandirian di dalam memeriksa dan memutuskan perkara dilakukan atas dasar penalaran dan argumentasi sendiri, bukan atas dasar penalaran orang lain. Kemandirian internal, artinya kemandirian untuk mengatur kepentingan kepersonaliaan kehakiman sendiri yang antara lain meliputi: rekruitmen, mutasi, promosi, penggajian, masa kerja, dan pensiun. Kemandirian institusi, artinya kemandirian institusi lembaga kehakiman dari intervensi berbagai lembaga kenegaraan dan pemerintahan lainnya di dalam memutus suatu perkara.

B. PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut diatas dapat diajukan rumusan masalah sebagai berikut :
Bagaimanakah Prinsip-prinsip universal kemerdekaan dan kemandirian kekuasaan kehakiman?
Bagaimanakah kemerdekaan dan kemandirian Mahkamah Agung dalam kekuasaan Kehakiman di Indonesia?
Bagaimanakah Kemerdekaan dan Kemandirian Mahkamah Konstitusi dalam kekuasaan kehakiman di Indoensia?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut diatas maka pada Makalah ini secara berturut-turut akan dibahas tentang prinsip-prinsip Universal kemerdekaan dan kemandirian kekuasaan kehakiman, kemerdekaan dan kemandirian Mahkamah Agung serta kemerdekaan dan kemandirian Mahkamah Konstitusi dalam kekuasaan Kehakiman.

C. PEMBAHASAN
1. PRINSIP PRINSIP UNIVERSAL KEMERDEKAAN DAN KEMANDIRIAN KEKUASAAN KEHAKIMAN.
Lubet menyebutkan bahwa independensi yudisial mengandung nilai-nilai dasar: Fairness, Impartiality, dan Good Faith. Hakim yang independen akan memberikan kesempatan yang sama dan terbuka kepada setiap pihak untuk didengar (fairness) tanpa mengaitkannya dengan identitas atau kedudukan sosial pihak-pihak tersebut. Seorang hakim yang idependen akan bersikap imparsial, bebas dari pengaruh yang tidak berhubungan dan kebal dari tekanan pihak luar. Seorang hakim yang independen memutus berdasar kejujuran (good faith), berdasarkan hukum sebagaimana yang diketauinya tanpa menghiraukan akibat yang bersifat personal, politis, ataupun finansial[21].
Dalam ”The International Bar Association Code of Minimum Standrads of Judicial Independence”, 1987 menyebutkan bahwa batasan-batasan dari kemerdekaan yudisial, meliputi: kemerdekaan personal, kemerdekaan substanstif, kemerdekaan internal, dan kemerdekaan kolektif. Kemerdekaan internal, mensyararatkan bahwa pengisian jabatan hakim, termasuk pengangkatan, pemindahan, pemensiunan, dan penggajian tidak ditetapkan oleh dan dibawah keputusan eksekutif. Kemerdekaan substantif, mensyaratkan seorang hakim harus memberi putusan sendiri atas dasar penalaran atau argumentasi hakim sendiri, bukan atas dasar penalaran orang lain. Kemerdekaan personal, berarti seorang hakim harus mampu mengambil putusan tanpa campur tangan kolega atau atasannya. Kemerdekan kolektif, mengacu pada fakta bahwa suatu pengadilan adalah suatu badan atau lembaga yang tidak terantung pada kekuasaan negara yang lain[22].
Dalam article 10 dari Universal Declaraion of Human Right menyatakan ” Everyone is entitled in full Eguality to a Fair a Public hearing by an independent and impartial tribunal, in the determaination of his right and obligation and of any criminal charge againts him”, yang artinya “setiap orang berhak atas persamaan yang sepenuhnya, didengarkan suaranya di muka umum dan secara adil oleh pengadilan yang merdeka dan tidak memihak, dalam hal menetapkan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya dan dalam setiap tuntutan pidana yang ditunjukkan terhadapnya” [23]. Sementara dalam ”Beijing Statement of Principles of Independence the Lawsia Region of the Judiciary” 28 Agustus 1997, menyatakan antara lain: (1) kekuasaan kehakiman merupakan institusi nilai yang tertinggi pada setiap masyarakat, (2) kemerdekaan hakim mensyaratkan bahwa hakim memutuskan sebuah perkara sepenuhnya atas dasar pemahaman undang-undang dan terbebas dari pengaruh dari manapun, baik langsung maupun tidak langsung, hakim memilih yurisdiksi, langsung maupun tidak langsung, atas isu yang memerlukan keadilan, (3) mempertahankan kemandirian kehakiman adalah sesuatu yang esensial untuk mencapai tujuan dan melaksanakan fungsinya yang tepat dalam masyarakat yang bebas dan menghormati hukum. Kemandirian tersebut harus dijamin oleh negara melalui konstitusi dan undang-undang[24]. Demikian pula dalam artikel 14 ayat 1: Articel The International Convenant of Civil and Political Right (ICCPR), 1966 disebutkan bahwa “everyone Shall be Entitled to a Fair and Public Hearing by a Competent, independent an impartial tribunal established by law”[25].
Harold See, menyebutkan bahwa ada dua perspektif dalam memandang inependence yudicial, Pertama, perspektif pemisahan kekuasaan dalam bentuk independence dari cabang kekuasaan lainnya. Aspeknya termasuk organisatoris, administratif, personalia, dan finasial, Kedua, perspektif demokrasi berupa kemerdekaan dalam membuat putusan (decisional independence). Hal ini berkaitan dengan kewajiban khusus dari pengadilan terhadap negara hukum. Peradilan hanya salah satu cabang pemerintahan dalam kekuasaan kehakiman, tetapi melaksanakan fungsi untuk menjamin terwujudnya negara hukum, didalamnya terdapat perlindungan atas kemerdekaan hakim dalam memutus bebas dari pengaruh berbagai kepentingan[26].
Sementara itu John Ferejohn, juga menyebutkan bahwa konsepsi tradisional menekankan kemerdekaan yudisial sebagai kemerdekaan dari campur tangan pejabat pemerintahan. Selain itu terdapat konsepsi yang lebih luas yang memandang kemerdekaan yudisial dari kepentingan sosial dan ekonomi yang sangat kuat. Namun demikain, kemerdekaan yudisial bukanlah tujuan itu sendiri, melainkan alat untuk mencapai suatu tujuan. Tujuan dari kemerdekaan yudisial adalah terwujudnya negara hukum dan melindungi kebebasan dan hak asasi. Manakala hakim berbicara kemerdekaan yudisial sebagai tujuan itu sendiri, maka akan mengakibatkan publik dan cabang kekuasaan yang lain, berfikir bahwa peradilan sebagai superior terhadap setiap cabang kekuasaan lainnya. Oleh karena itu, kemerdekaan yudisial tidak berarti kemerdekaan mutlak. Peradilan tidak bebas dari semua pengaruh, ia harus bebas dari pengaruh yang tidak semestinya. Misalnya kekuasaan kehakiman tidak bebas dari kritik, tetapi ia bebas dari kritik yang tidak jujur, intermediasi, atau pembalasan[27].
Dalam basic principle on the independence of the yudiciary yang dihasilkan dalam Seventh United Nation Conggres on the Prevention and the treatment offenders, 1985, menyebutkan bahwa beberapa wilayah independensi yudisial, termasuk unsur-unsur utama pengambilan keputusan hakim atau pengadilan, imparsialitas, kebebasan dari pengaruh luar hanya dengan keberadaan suatu kemerdekaan pengadilan, hakim tempat memutus perkara secara imparsial dan berkeadilan, sebab negara hukum mensyaratkan adanya hakim yang tidak takut atau khawatir atas akibat atau pembalasan dari pihak luar[28].
H. Muchsin berpendapat bahwa independensi kekuasaan kehakiman dapat dikategorikan menjadi 2 jenis, sebagai berikut: (1) independensi normatif, yaitu independensi yang tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, sebagaimana dalam kekuasaan kehakiman yang yang ada didalam Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebutkan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka, (2) independensi empiris/realita, yaitu independensi yang sesuai dengan kenyataan dalam praktik di lapangan, yang mana hakim dapat menentukan sendiri putusannya tanpa ada campur tangan atau tekanan dari pihak manapun[29]. Dari dua macam independensi itu, dalam prakteknya tidak dapat dipisahkan, sehingga terdapat beberapa bentuk independensi, sebagai berikut: (1) secara normatif independen dan realitanya juga independen; (2) secara normatif tidak independen, dan realitasnya juga tidak independen, dan (3) secara normatif independen akan tetapi realitanya tidak independen.
Jimly Asshiddiqie, menjelaskan bahwa terdapat tiga pengertian tentang independensi, yaitu: (1) Structural Independence, yaitu independensi kelembagaan, dapat digambarkan dalam bagan yang sama sekali terpisah dari organisasi lain, (2) fuctional independence, yaitu independensi dilihat dari segi jaminan pelaksanaan fungsi, dan (3) Financial Independence, yaitu dilihat dari kemandiriannya menentukan sendiri anggaran yang dapat menjamin kemandiriannya dalam menjalankan fungsinya[30].


2. KEMERDEKAAN DAN KEMANDIRIAN MAHKAMAH AGUNG DALAM KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA.
Montesquieu dengan ajaran trias politicanya, membagi kekuasaan pemerintahannya dalam tiga cabang, yaitu legistalif, eksekutif, dan yudikatif. Kekuasaan legislatif adalah kekuasaan untuk membuat Undang-Undang, kekuasaan eksekutif meliputi penyelenggaraan Undang-Undang dan kekuasaan yudikatif adalah kekuasaan mengadili atas pelanggaran Undang-Undang[31]. Masing-masing kekuasaan tidak bertindak sewenang-wenang karena kekuasaan yang satu diawasi oleh kekuasaan lainnya. “Pour Qu’on ne puisse abuser de pouvoir, par la disposition de choses le pouvoir arrête de pouvoir”, artinya agar kekuasaan itu tidak digunakan sewenang-wenang, maka menurut pembagiannya, kekuasaan yang satu membendung kekuasaan yang lain[32].
Indonesia tidak menganut ajaran Trias Politica, dalam arti Separation of Power. Akan tetapi menganut asas distribution of power. Hal ini ditunjukkan dari wewenang untuk membuat Undang-Undang tidak monopoli legislatif tetapi juga dimiliki oleh eksekutif (presiden), walaupun sebatas pada pengajuan Rancangan Undang-Undang[33], namun demikian kekuasaan kehakiman yang merdeka (bebas) yang diterapkan pada lembaga yudikatif di Indonesia sesuai dengan prinsip-prinsip yang dianut dalam ajaran trias politica.
Perihal kemandirian institusi Mahkamah Agung dalam kekuasaan kehakiman telah diatur dalam Pasal 24 ayat (1) amandemen ketiga Undang-Undang 1945 yang berbunyi: “kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. Selanjutnya juga diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 yang menyebutkan bahwa Mahkamah Agung adalah Pengadilan Negara tertinggi dari semua lingkungan peradilan, yang dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari pengaruh pemerintah dan pengaruh-pengaruh lain. Dengan kata lain bebas dari campur tangan pihak kekuasaan ekstra yudisial[34], kecuali dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Meskipun memiliki kemerdekaan yudisial, tetapi dalam melaksanakan tugasnya hakim bertanggung jawab untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, sehingga putusannya mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia. Artinya kebebasan yudisial tidak besifat mutlak, tetapi pada akhirnya harus dapat dipertanggung jawabkan kepada rakyat Indonesia. Bagir Manan, menyatakan bahwa kemerdekaan dan kebebasan hakim hanya terbatas pada fungsi hukum sebagai pelaksanaan kekuasaan yudisial. Dengan perkataan lain, kemerdekaan dan kebebasan hakim berada pada fungsi yudisialnya yaitu menetapkan hukum dalam keadaan konkret [35]. Moh Mahfud MD juga menjelaskan bahwa kekuasaan kehakiman dan peradilan adalah kekuasaan untuk memeriksa dan mengadili serta memberikan putusan atas perkara-perkara yang diserahkan kepadanya untuk menegakkan hukum, dan keadilan berdasarkan peraturan perundang-undangan[36].
Kemandirian institusi Mahkamah Agung dalam kekuasaan kehakiman juga diatur dalam Pasal 13 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 yang menyebutkan bahwa organisasi, administratif dan finansial Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi berada di bawah kekuasaan dan kewenangan masing-masing mahkamah tersebut. Dengan ketentuan ini maka semua pengawai yang mengurusi peradilan di bawah Departemen Hukum dan HAM serta semua PNS di Lingkungan Peradilan Militer menjadi Pegawai pada Mahkamah Agung.
Ketentuan Pasal 13 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tersebut sebenarnya menunjukkan perkembangan yang telah dimulai sejak Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 dan mengandung koreksi atas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang tidak merdeka pada masa orde baru. Dalam Undang-undang Kekuasaan Kehakiman pada masa Orde Baru yakni Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970, terutama pada Pasal 11, menyebutkan bahwa urusan organisatoris, administratif, dan finansial dari badan peradilan berada di bawah Departemen-Departemen.
Pada masa reformasi, ketentuan yang diatur dalam Pasal 11 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 diubah berdasarkan ketetapan MPR Nomor X/MPR/1998 tentang Pokok-pokok Reformasi Pembangunan dalam rangka penyelamatan dan normalisasi kehidupan nasional sebagai haluan negara yang diantaranya mengagendakan adanya pemisahan yang tegas antara fungsi-fungsi yudisial dan eksekutif. Pemisahan ini dilakukan dengan cara mengalihkan organisasi, administrasi, dan finansial kekuasaan kehakiman menjadi di bawah Mahkamah Agung dan setelah amandemen termasuk di bawah Mahkamah Konstitusi.
Pengalihan urusan tersebut dilakukan karena selama orde baru pembinaan lembaga peradilan oleh eksekutif telah memberikan peluang bagi penguasa untuk melakukan intervensi kedalam proses peradilan serta menyuburkan KKN (Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme) maupun praktik negatif pada proses peradilan. Akibatnya pengadilan sering berpihak kepada kepentingan penguasa dan mengabaikan rasa keadilan masyarakat.
Berkenaan dengan kemandirian personal Mahkamah Agung dalam kekuasaan kehakiman, ditujukkan dari ketentuan Pasal 24 A Ayat 3 yang menyebutkan bahwa calon hakim agung diusulkan komisi yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden. Selain itu juga ditunjukkan pada Pasal 7 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 yang menegaskan bahwa untuk diangkat menjadi hakim agung, seorang calon harus memenuhi syarat sebagai berikut: (a) warga negara Indonesia, (b) bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, (c) berijazah Sarjana Hukum atau Sarjana lain yang mempunyai keahlian dibidang hukum, (d) berusia sekurang-kurangnya 50 tahun, (e) sehat jasmani dan rohani, dan (f) berpengalaman sekurang-kurangnya 20 Tahun menjadi hakim termasuk sekurang-kurangnya 3 tahun menjadi hakim tinggi. Dan apabila dibutuhkan, hakim agung dapat diangkat tidak berdasarkan sistem karier dengan syarat selain ketentuan huruf a sampai dengan huruf e tersebut diatas juga harus memenuhi syarat : (a) perpengalaman dalam profesi hukum dan/atau akademis hukum sekurang-kurangnya 25 tahun, (b) berijazah Magister dalam ilmu hukum dengan dasar sarjana hukum atau sarjana lain yang mempunyai keahlian dibidang hukum, dan (c) tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih.
Seiring dengan bergulirnya era reformasi dalam kerangka mengembalikan tujuan ideal peradilan yaitu menciptakan keadilan sebagai implementasi penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia yang selama 32 tahun terkontaminasi oleh rezim Soeharto, perlu dilakukan pembenahan mulai dari pengadilan tingkat bawah sampai Mahkamah Agung. Banyaknya pendapat bahwa mafia perkara atau peradilan yang marak ditubuh Mahkamah Agung harus diberantas dan dimusnahkan sehingga nilai-nilai keadilan dapat direalisasikan. Sehubungan dengan hal ini maka mulai tahun 2000 proses pencalonan hakim agung mengalami perubahan yang sangat besar dibandingkan dengan proses sebelumnya. Dimana proses pencalonan hakim agung dilakukan melalui fit and proper test (uji kelayakan dan kepatutan). Fit and proper test hakim agung ini merupakan langkah baru dari DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) guna mendapatkan hakim agung yang bersih dan mempunyai integritas moral yang tinggi selain itu fit and proper test ini dianggap sebuah proses yang lebih demokratis dengan adanya partisipasi dari masyarakat terutama bagi kalangan pakar hukum.
Perihal kemandirian substansial Mahkamah Agung dalam kekuasaan kehakiman, tampak pada kewajiban hakim untuk menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai Hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat. Kewajiban ini pada dasarnya adalah merupakan cerminan dari asas kedaulatan rakyat.
Dalam Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (hasil amandemen), disebutkan bahwa kekuasaan kehakiman adalah merupakan salah satu pelaksanaan keadulatan rakyat. Atas dasar ketentuan ini maka putusan hakim pada dasarnya harus mencerminkan kedaulatan rakyat. Dengan demikian, pelaksanaan kedaulatan rakyat bukan hanya hak dari lembaga legislatif yang secara institusional mencerminkan perwakilan rakyat, tetapi juga menjadi hak dan kewajiban yang dimiliki hakim melalui putusan yang mencerminkan rasa keadilan masyarakat.
Sisi lain dari rambu-rambu kemandirian substansial adalah adanya integritas dan sifat transparasi dalam penyelenggaraan dan proses memberikan keadilan, hal mana harus diwujudkan dalam bentuk publikasi putusan-putusan badan peradilan serta akses publik yang lebih mudah untuk mengetahui dan membahas putusan-putusan badan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Wacana perlunya publikasi pendapat yang berbeda diantara hakim-hakim di dalam proses pemutusan perkara jika tidak ada kesepakatan yang bulat diantara mereka, adalah merupakan langkah reformasi di bidang peradilan. Melalui langkah ini independensi hakim sebagai penegak hukum di jamin dalam menyampaikan dan mempertahankan argumentasi yuridisnya masing-masing.
Konsekuensi lebih lanjut dari adanya tanggung jawab tersebut di atas adalah adanya pengawasan atau kontrol terhadap kinerja badan-badan peradilan baik mengenai jalannya peradilan maupun perilaku pada aparatnya, agar kemandirian dan kebebasan kekuasaan kehakiman tidak disalah gunakan, sehingga dikhawatirkan dapat menjadi tirani kekuasaan kehakiman. Banyak bentuk dan mekanisme pengawasan yang dapat dilaksanakan, dan salah satunya adalah kontrol atau pengawasan melalui media masa, termasuk pers. Dengan demikian kemandirian hakim tidaklah berada dalam ruang yang hampa melainkan dibatasi oleh rambu-rambu, pertanggungjawaban (akuntabilitas), integritas moral dan etika, transparasi, dan pengawasan[37].
Masih berkaitan dengan kemandirian substansial, amandemen Undang-Undang Dasar 1945 mengatur tentang keharusan untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran, martabat, serta pelaku hakim yang wewenangnya diberikan kepada komisi yudisial. Wewenang yang dimiliki oleh komisi yudisial itu pada dasarnya merupakan mekanisme untuk menjaga akuntabilitas hakim kepada publik. Disisi lain tentunya juga harus ada rambu-rambu kewenangan komisi yudisial, agar komisi yudisial tidak bersifat mengurangi kemerdekaan hakim dalam mengambil putusan.
Kemandiraian substansial juga terlihat dalam keharusan hakim untuk melaksanakan sidang pemeriksaan pengadilan secara terbuka untuk umum yang bila tidak terpenuhi akan mengakibatkan putusan batal demi hukum (pasal 19 ayat 2 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004). Pelaksanaan proses pemeriksaan secara terbuka ini, merupakan bagian dari transparasi dalam proses persidangan. Transparasi tersebut juga dalam kewajiban memuat pendapat hakim yang berbeda dalam setiap putusan yang dapat mencapai mufakat bulat dalam sidang permusyawaratan (Pasal 19 ayat 5 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004). Namun demikian. Transparasi ini tidak boleh mengurangi kemerdekaan hakim dalam mengambil putusan, sehingga rapat permusyawaratan untuk menentukan putusan bersifat rahasia agar terhindar dari pengaruh, tekanan atau intimidasi dari pihak lain.
Berkenaan dengan kemandirian internal Mahkamah Agung dalam kekuasaan kehakiman, belum sepenuhnya dapat diwujudkan. Hal ini ditunjukkan dari adanya ketentuan yang menegaskan bahwa hakim agung diangkat oleh Presiden dari nama calon yang diajukan oleh DPR (Pasal 8 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 jo Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004), ketua dan wakil ketua Mahkamah Agung dipilih dari dan oleh hakim agung dan diangkat oleh Presiden (Pasal 8 Ayat 4), ketua muda Mahkamah Agung diangkat oleh Presiden diantara hakim agung yang diajukan oleh ketua Mahkamah Agung. Ketentuan ini berarti masih adanya campur tangan dalam pengangkatan hakim agung dari kekuasaan lain yakni dari eksekutif atau Presiden. Namun demikian kemandirian internal mahkamah agung ini sejak amandemen ketiga Undang-Undang Dasar 1945, telah mengalami perbaikan. Hal ini tampak pada ketentuan bahwa calon hakim agung diusulkan oleh komisi yudisial[38], yang kedudukannya bersifat mandiri[39]. Sifat kemandirian dari komisi yudisial ini, ditunjukkan dari kewenangan Komisi Yudisial yang antara lain disebutkan bahwa: komisi yudisial berwenang melakukan pendaftaran calon hakim agung, melakukan seleksi terhadap calon hakim agung, menetapkan calon hakim agung, dan mengajukan calon hakim agung ke DPR[40]. Selain itu komisi yudisial juga berwenang menerima laporan masyarakat tentang perilaku hakim, meminta laporan secara berkala kepada badan peradilan berkaitan dengan perilaku hakim, melakukan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran perilaku hakim dan memanggil serta meminta keterangan dari hakim yang diduga melanggar kode etik perilaku hakim[41].
Kemandirian internal dari Mahkamah Agung juga tampak dari sistem rekruitmen yang bersifat terbuka. Hal ini ditunjukkan dari ketentuan persyaratan untuk dapat diangkat menjadi hakim agung selain dari hakim karir juga dimungkinkan dapat diangkat tidak berdasarkan sistem karir misalnya berasal dari lingkungan para penegak hukum, yakni advokad, kejaksaan, kepolisian, dan sebagainya. Ketentuan ini telah diatur dalam Pasal 7 Ayat 1 dan ayat 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004.
Kemandirian internal Mahkamah Agung selain ditunjukkan dari sistem dan proses rekruitmen, ditunjukkan pula dari sistem dan proses mutasi, promosi, dan jenjang kepangkatan hakim diserahkan pada mekanisme internal di Mahkamah Agung.

3.KEMERDEKAAN DAN KEMANDIRIAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM KEKUASAAN KEHAKIMAN.

Keberadaan Mahkamah Konstitusi merupakan fenomena baru dalam dunia ketatanegaraan. Sebagian besar negara demokrasi yang sudah mapan, tidak mengenal lembaga Mahkamah Konstitusi yang berdiri sendiri. Hingga saat ini baru ada 78 negara yang membentuk Mahkamah Konstitusi ini secara tersendiri[42].
Selain Mahkamah Agung dan Badan-badan Pengadilan yang ada dibawahnya, kekuasaan kehakiman juga dilakukan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi [43]. Fungsinya biasanya dicakup dalam fungsi supreme court yang ada disetiap negara. Salah satu contohnya adalah Amerika Serikat. Fungsi-fungsi yang dapat dibayangkan sebagai fungsi Mahkamah Konstitusi seperti judicial review dalam rangka menguji kinstitusionalitas suatu Undang-undang, baik dalam arti formil maupun dalam arti pengujian materiil, dikaitkan langsung dengan kewenangan Mahkamah Agung (supreme court)[44]. Akan tetapi dibeberapa negara lainnya, terutama dilingkungan negara-negara yang mengalami perubahan dari otoritarian menjadi demokrasi, pembentukan Mahkamah Konstitusi dapat dinilai cukup populer.
Di Indonesia pemikiran mengenai pentingnya suatu Mahkamah Konstitusi telah muncul dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia sebelum merdeka. Pada saat membahas rancangan Undang-Undang Dasar di BPUPKI, Prof. Moch Yamin telah mengemukakan pendapat bahwa Mahkamah Agung perlu diberi kewenangan untuk membanding Undang-Undang. Namun ide ini ditolak oleh Prof Soepomo berdasarkan dua alasan yakni: (1) Undang-Undang Dasar yang sedang disusun ini tidak menganut paham trias politica, dan (2) pada saat ini jumlah sarjana hukum kita belum banyak dan belum memiliki pengalaman menganai hal ini[45].
Pada saat pembahasan amandemen Undang-Undang Dasar 1945, pendapat mengenai pentingnya Mahkamah Konstitusi muncul kembali dan memperoleh respon positif serta menjadi salah satu materi perubahan Undang-Undang Dasar yang diputuskan oleh MPR. Setelah melalui pembahasan yang cermat, mendalam dan demokratis akhirnya ide pembentukan Mahkamah Konstitusi menjadi kenyataan dengan disahkannya Pasal 24 Ayat 2 dan Pasal 24C Undang-Undang Dasar 1945. Dengan disahkan kedua pasal tersebut maka Indonesia menjadi negara yang membentuk Mahkamah Konstitusi dalam lembaga kekuasaan kehakiman. Dengan demikian kekuasaan kehakiman selain dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan Peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, juga dilakukan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu Mahkamah konstitusi juga harus tunduk pada asas kekuasaan kehakiman yang merdeka yakni meliputi kemandirian personal, kemandirian substansial, kemandirian internal, dan kemandirian institusional. Penegasan ini dituangkan pada Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi sebagai berikut: ”Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”.
Berkaitan dengan kewenangannya, Mahkamah Konstitusi berwenang: (1) menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar, (2) memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang wewenangnya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, (3) memutus pembubaran partai politik, dan (4) memutus perselisihan tentang hasil Pemilu (Pasal 24c ayat 1). Selain itu Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar (Pasal 24c Ayat 2). Pelanggaran tersebut berupa pengkianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat yang diancam pidana penjara lima tahun atau lebih atau perbuatan tercela yang merendahkan martabat presiden dan/atau wakil presiden, dan tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Dasar.
Bedasarkan kewenangan yang dimiliki tersebut, maka Mahkamah Konstitusi berfungsi sebagai penjaga konstitusi (the quardian of the constitution) agar dilaksanakan baik dalam bentuk undang-undang maupun dalam pelaksanaannya. Sebagai penjaga konstitusi, Mahkamah Konstitusi sekaligus berperan sebagai penaksir konstitusi (the interpreter of the constitution)[46].
Fungsi penjaga dan penaksir sebagaiman tersebut di atas sejalan dengan pemikiran Hans Kelsen yang menjelaskan bahwa pelaksanaan aturan kostitusi hanya dapat dijamin secara efektif jika terdapat suatu organ selain badan legislatif yang diberikan tugas untuk menguji konstitusionalitas suatu produk hukum. Organ khusus selain badan legislatif tersebut seperti pengadilan khusus yang disebut Mahkamah Konstitusi (constitutional court)[47].
Berkenaan dengan kemerdekaan institusi (kelembagaan) Mahkamah Konstitusi dalam kekuasaan kehakiman, ditujukkan dengan aturan yang menentukan bahwa organisasi, administrasi, dan finansial Mahkamah Konstitusi berada dibawah kekuasaan dan kewenangan Mahkamah Konstitusi (Pasal 13 ayat 2 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004). Lebih tegas lagi ditetapkan dalam Pasal 12 Undag-undang nomor 24 Tahun 2003, yang menyebutkan bahwa Mahkamah Konstitusi bertanggung jawab mengatur organisasi, personalia, administrasi dan keuangan sesuai dengan prinsip pemerintahan yang baik dan bersih.
Berdasarkan pasal 12 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tersebut menunjukkan bahwa kemerdekaan yudisial yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi dilaksanakan tidak terpisah dari akuntabilitas yudisial. Kemerdekaan yudisial Mahkamah Konstitusi tidak semata-mata untuk tujuan kemerdekaan itu sendiri, tetapi menjadi instrumen untuk menjamin kredibilitas Mahkamah Konstitusi didepan publik. Hal ini dipertegas dengan ketentuan Mahkamah Konstitusi wajib mengumumkan laporan berkala kepada masyarakat secara terbuka berkenaan dengan: (1) permohonan yang terdaftar, diperiksa, dan diputus, dan (2) pengelolaan keuangan dan tugas admninistrasi lainnya (Pasal 13 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003). Dengan cara ini kemerdekaan kehakiman dapat dipertanggungjawabkan kepada publik. Namun demikian, tidak berarti kewajiban tersebut mengurangi kewajiban membuat laporan keuangan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam kaitannya dengan kemandirian internal Mahkamah Konstitusi, ditunjukkan dari adanya larangan hakim konstitusi merangkap menjadi: pejabat negara lainnya (seperti anggota DPR, DPD, Hakim atau hakim agung, menteri atau pejabat lainnya), anggota partai politik, pengusaha (sebagai direksi atau komisaris perusahaan), advokad, dan Pegawai Negeri Sipil (PNS). Selain itu juga ditunjukkan dari cara pengisian hakim konstitusi. Pengisian hakim konstitusi dilakukan melalui mekanisme pengajuan dari masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, DPR, dan Presiden, untuk selanjutnya ditetapkan dengan keputusan Presiden. Pengisian jabatan ini berbeda dengan pengisian Mahkamah Agung Yang diusulkan oleh komisi yudisial kepada DPR. Mekanisme pengisian seperti diatas didasarkan pada kewenangan Mahkamah Konstitusi yakni melaksanakan prinsip pengawasan dan keseimbangan yang menempatkan semua lembaga negara dalam kedudukan setara sehingga terdapat keseimbangan dalam penyelenggaraan negara.
Melalui pemilihan hakim konstitusi yang merepresentasikan ketiga cabang kekuasaan negara, yakni kekuasaan yudikatif (Mahkamah Agung), kekuasaan legislatif (DPR), dan kekuasaan Eksekutif (Presiden), diharapkan terdapat keseimbangan dalam pengambilan putusan Mahkamah Konstitusi. Dengan cara ini akan tercipta kemandirian Mahkamah Konstitusi sehingga akan terbebas dari campur tangan kekuasaan lembaga lain.
Berkaitan dengan kemandirian substansial Mahkamah Konstitusi, tampak pada pengambilan putusan. Dalam mengambil putusan pada dasarnya hakim konstitusi harus bebas dari segala macam pengaruh yang bersifat ekstra yudisial, namun hakim konstitusi dalam mengambil putusan dituntut pula sesuai dengan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila, sehingga putusannya mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia. Hal ini ditegaskan dalam penjelasan undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 yang dinyatakan sebagai berikut: ”Keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara yang berfungsi menangani perkara tertentu dibidang ketatanegaraan, dalam rangka menjaga konstitusi agar dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi”.
Dari penjelasan tersebut putusan mahkamah konstitusi pada dasarnya dimaksudkan untuk menjaga konstitusi agar dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi. Artinya putusan mahkamah konstitusi hendaknya mengacu pada kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi atau dengan kata lain harus mencerminkan kedaulatan rakyat. Hal ini merupakan penegasan dari prinsip negara hukum yang demoktaris yakni menghendaki agar negara hukum dilaksanakan berdasarkan prinsip demokrasi yang memungkinkan adanya deliberasi dan partisipasi publik dalam pengambilan putusan hukum.
Agar putusan mahkamah konstitusi memiliki nilai kontekstualitas dengan menyesuaikan perkembangan masyarakat maka setiap putusan mahkamah konstitusi harus mengacu pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan tidak menghilangkan nilai kontekstualitas dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dengan cara ini Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak menjadi dokumen yang beku dan kaku tetapi tetap hidup ditengah-tengah perkembangan masyarakat. Pengalaman di negara lain menunjukkan bahwa pelaksanaan hal tersebut tidak selamanya mulus. Di Amerika Serikat Pelaksanaan Yudicial review oleh mahkamah agung sering menimbulkan bentrokan antara presiden dan kongres. Misalnya bentrokan antara presiden F.D Roosevelt dengan Mahkamah Agung Amerika Serikat, disebabkan karena Undang-undang penting yang berkenaan dengan New Deal dinyatakan inconstitutional oleh Supreme Court. Demikian pula di India, Perdana Menteri India Indira Ghandi pernah mengalami kesulitan, sewaktu undang-undang tentang nasionalisasi bank dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Agung India. Di Indonesia sendiri, meskipun tidak berkembang, pernah terjadi konflik antara Presiden dengan Mahkamah Konstitusi. Yaitu ketika ketua Mahkamah Konstitusi memberikan pernyataan yang keras mengingatkan presiden agar mematuhi keputusan Mahkamah Konstitusi terkait dengan Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2005 tentang harga jual eceran BBM dalam negeri tertanggal 30 September 2005. Dalam suratnya ketua Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa penerbitan Perpres yang didasarkan pada undang-undang tentang Migas yang sudah diuji materialkan (yudisial review) dengan putusan yang mengabulkan sebagian dan bersifat final serta mengikat.
Dalam kaintannya dengan kemerdekaan personal Mahkamah Konstitusi, dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 menetapkan bahwa hakim konstitusi, selain memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela serta dapat bersikap adil, harus memiliki pula watak kenegarawanan yaitu menguasai konstitusi dan ketatanegaraan. Dengan demikian kemandirian hakim konstitusi dalam mengambil putusan dapat dipertanggungjawabkan pula pada tujuan untuk menjaga konstitusi. Dengan perkataan lain, kemandirian hakim konstitusi mengadung dimensi akuntabilitas yudisial terhadap rakyat.


D. KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan masalah tersebut diatas kiranya dapat dikemukakan beberapa kesimpulan:
Prinsip-prinsip Universal kemerdekaan kekuasaan kehakiman antara lain meliputi kemandirian personal, kemandirian substantif, kemandirian internal, maupun kemandirian institusi.
Kemerdekaan dan kemandirian Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi dalam kekuasaan kehakiman di Indonesia adalah sejalan dengan perinsip-prinsip universal kekuasaan kehakiman yang meliputi kemandirian personal, kemandirian substansial, kemandirian internal, dan kemandirian institusional.
Kemerdekaan dan kemandirian Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi sebagaimana tersebut di atas adalah merupakan pengejewantahan dari asas kedaulatan rakyat dan asas negara hukum.
Kemandirian personal Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi ditunjukkan dari persyaratan untuk menjadi hakim agung dan hakim konstitusi yakni selain memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela serta dapat bersikap adil maupun memiliki watak kenegarawanan yaitu menguasai konstitusi dan ketatanegaraan.
Kemandirian internal Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi ditunjukkan dari mekanisme pengajuan untuk menjadi hakim agung maupun hakim konstitusi serta adanya pelarangan perangkapan menjadi pejabat negara lainnya.
Kemandirian substansial Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi tampak dari cara pengambilan putusan yakni bebas dari segala macam pengaruh yang bersifat ekstra yudisial selain itu tampak pula pada proses pemeriksaan yang bersifat terbuka (transparan) dalam proses persidangan.
Kemerdekaan institusi Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi ditunjukkan dari adanya ketentuan bahwa organisasi, administrasi dan finansial Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi berada dibawah kewenangan dari masing-masing Mahkamah.


DAFTAR PUSTAKA

Adi Sulistiyono, 2007, Negara Hukum: kekuasaan, konsep dan paradigm moral, Surakarta: LPP dan UPT Penerbitan dan percetakan UNS (UNS Press).

---------------------,Krisis lembaga Peradilan di Indonesia, tersedia di http://adisulistiyono.staff.uns.ac.id/ diakses pada 5 Juni 2009.

Aidul Fitriada Azhari, 2005, Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka dan Bertanggung Jawab di Mahkamah Konstitusi, Jurnal Yurisprudence, Vol.2 No.1, Maret 2005, Fakultas Hukum dan Magister Ilmu Hukum,.

Arief Budiman, et.al, 2003, Harapan dan Kecerdasan Manatap Arah Reformasi Indonesia, Yogyakarta: Bigraf Publishing.

Bagir Manan dan Kuntana Magnar, 1997, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara, Bandung: edisi kedua, alumni.

Basic Prinsiple on the Independence of the Judiciary, Seventh United Nation Congress on Offenders, Milan 26 Agustus s/d 6 September 1985.

Daniel. S. Lev, 1990, Hukum dan Politik Indonesia, Keseimbangan dan Perubahan, Jakarta : LP3ES.

Frans Neumann, 1986, The Rule of Law, Heidelberg : Berg Publisher.


Hans Kelsen, 1961, General Theory of Law and state, New York: Russell & Russell.

---------------, 2007, General Theory of Law and Hate, alih bahasa Sumardi, Jakarta: BEE Media Indonesia.

Harlord See, 1998, “Comment Yudicial selection and decrisional Independence”, Law and Contenporary Problems, Vol. 61, No 3, Summer.

H. Muchsin, 2004, Kekuasaan Kahakiman Yang Merdeka dan kebijakan Asasi, Jakarta: Penerbit SRIH Iblam.

Jimly Asshiddiqie, Cita Negara Hukum Indonesia Kontemporer, Makalah disampaikan pada orasi ilmiah pada wisuda sarjana Universitas Sriwijaya Palembang, 23 Maret 2004. Tulisan ini juga dimuat dalam majalah “Simbur Cahaya” Nomor 25 Tahun IX Mei 2004, ISSN Nomor 14110-0614.

-------------------------, Model-model pengujian konstitusional diberbagai Negara, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI, Jakarta, mei 2005.

-------------------------, Mahkamah Konstitusi Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Makalah sebagai bahan ceramah pada pedidikan sespati dan sespin Polri, Bandung, 19 april 2008,

Jimmly Assiddiqie dan Mustafa Fakhri, 2002, Mahkamah Konstitusi, kompilasi ketentuan konstitusi, Undang-Undang dan peraturan di 78 negara, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara Indonesia.

Jur A. Hamzah, Kemandirian dan Kebebasan Kekuasaan Kahakiman, Malakah Pada Seminar Hukum Nasional ke VII, denpasar, 14 – 18 Juli, 2003.

Kelly, F.B William, 2009, An Independence Yudiciary the core of The rule of law, tersedia diwww.icclr.ubc.cal/publications/report/anindependence.yudiciary.pdf(deduktif,20mei2009)

Lubet, Steven, 1998, Judicial Disipline and Judicial Independence, Law and Contemporary Problems, Vol. 61, Nomor 3 Summer.

Meriam Budihardjo, 1993, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia.


Mochammad Ali Safa’at, Reformasi dan Perkembangan Hukum Tata Negara, tersedia dihttp://alisafaat.wordpress.com/2009/02/06perkembanganteorihukum,diakses 20 mei 2009.

MPR RI, 2007, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI.

Padmo Wahyono, 1989, Pembangunan Hukum di Indonesia, Jakarta: Ind-Hill Co.

Paulus E. Totulung, Kebebasan Hakim dalam Sistem Penegakan Hukum, Makalah pada seminar pembangunan Hukum Nasional VII, Denpasar, 14 – 18 Juli 2003.

Philipus M. Hadjon, 1972, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Sebuah studi tentang perinsip-prinsipnya, penerapannya oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum dan pembentukan peradilan administrasi Negara, Surabaya: Bina Ilmu.

Salmun dan Sulardi, 2004, Hubungan Badan Eksekutif dan Yudikatif, Malang: UMM Press.

Satjipto Rahardjo, Keterpurukan Penegakan Hukum di Indonesia, http://id.shvoong.com/law-and-politicics/law/1856509-keterpurukan-penegakan hukum-di-indonesia,diakses 10 Mei 2009.

------------------------, 2006, Sisi-sisi lain Hukum Indonesia, Jakarta: Kompas Media Nusantara.

Soetandyo Wignyosoebroto, 2002, Hak Asasi Manusia Konstitusionalisme: Hubungan antara Masyarakat dan negara dalam hukum Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya, Jakarta: Eslam-Huma.

Tap MPRS No.XX/MPRS/1966 jo Tap MPR No V/MPR/1973 jo Tap MPR No IX/MPR/1978 jo Tap MPR No. III/MPR/2000, Tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Perundang-undangan.


Tasrif, S. 1989, “Kemandirian Kekuasaan Kehakiman”, editor Paul S. Baut dan Luhut M.P Pangaribuan, Jakarta: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia.

Tilaar, H.A.R, 1999, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional Dalam Perspektif Abad 21, Magelang: Indonesia Tera.

The Universal Declaration of Human Right, Tahun 1948.

The International Convenant on Civil and Political Rights (ICCPR) Tahun 1966.

Tudung Mulya Lubis dan Mas Achmad Santoso, 2000, “Regulasi Ekonomi, sistem yang berjalan baik dan lingkungan Agenda Reformasi hukum di Indonesia”.

Tim Penyusun Kamus, 1991, Kamus besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, Depdikbud, Edisi Ke 2.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 Tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1970 Nomor 74).

Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 Tentang Perubahan terhadap undand-undang Nomor 14 tahun 1970.

Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98).

Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kahakiman (lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 8).

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004, Tentang Komisi Yudisial.










*) Disusun Untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Sistem Peradilan di Indonesia Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
**) Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Universitas sebelas Maret Surakarta.

[1] Padmo Wahyono, Pembangunan Hukum di Indonesia, Ind-Hill Co, Jakarta, 1989, h. 30.
[2] Miriam Budihardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1998, h. 57.
[3] Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Sebuah studi tentang perinsip-prinsipnya, penerapannya oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum dan pembentukan peradilan administrasi Negara, Bina Ilmu, Surabaya, 1972, h. 72.
[4] Jimly Asshiddiqie, Cita Negara Hukum Indonesia Kontemporer, Makalah disampaikan pada orasi ilmiah pada wisuda sarjana Universitas Sriwijaya Palembang, 23 Maret 2004. Tulisan ini juga dimuat dalam majalah “Simbur Cahaya” Nomor 25 Tahun IX Mei 2004, ISSN Nomor 14110-0614.
[5] Ibid.
[6] Adi Sulistiyono, Negara Hukum: kekuasaan, konsep dan paradigm moral, LPP dan UPT Penerbitan dan percetakan UNS (UNS Press), Surakarta, 2007, h.46.
[7] Aidul Fitriciada, Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka dan Bertanggung Jawab di Mahkamah Konstitusi, Jurnal Yurisprudence, Vol.2 No.1, Maret 2005, Fakultas Hukum dan Magister Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2005, h. 94.
[8] Daniel. S. Lev, Hukum dan Politik Indonesia, Keseimbangan dan Perubahan, LP3ES, Jakarta, 1990, h. 513.
[9] Meriam Budihardjo, Op.Cit, h. 57.
[10] Tim Penyusun Kamus, Kamus besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Depdikbud, Jakarta, Edisi Ke 2, 1991, h. 521.
[11] Soetandyo Wignyosoebroto, Hak Asasi Manusia Konstitusionalisme: Hubungan antara Masyarakat dan negara dalam hukum, Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya, Eslam-Huma, Jakarta, 2002, h. 415-917.
[12] Satjipto Rahardjo, Keterpurukan Penegakan Hukum di Indonesia, http://id.shvoong.com/law-and-politicics/law/1856509-keterpurukan-penegakan-hukum-di-indonesia,diakses 10 Mei 2009.
[13] Adi Sulistiyono, Krisis lembaga Peradilan di Indonesia, tersedia di http://adisulistiyono.staff.uns.ac.id/ diakses pada 5 Juni 2009.
[14] Tilaar, H.A.R, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional Dalam Perspektif Abad 21, Indonesia Tera, Magelang, 1999, h. 364.
[15] Pasal 11 ayat 1 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970, menentukan bahwa secara organisatoris, administratif dan finansial ada dibawah kekuasaan masing-masing departemen yang bersangkutan. Sedangkan Pasal 11 ayat 2 menjelaskan bahwa Mahkamah Agung mempunyai organisasi, administrasi, dam keuangan tersendiri.
[16] Pasal 11 undang-undang 35 Tahun 1999, menentukan pemisahan yang tegas antara fungsi yudikatif dengan eksekutif.
[17] Lihat Tap MPRS No.XX/MPRS/1966 jo Tap MPR No V/MPR/1973 jo Tap MPR No IX/MPR/1978 jo Tap MPR No. III/MPR/2000. Lihat pula Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004.
[18] MPR RI, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, Sekretariat Jenderal MPR RI, Jakarta, 2007, h. 104-106
[19] Paulus E. Totulung, Kebebasan Hakim Dalam Sistem Penegakan Hukum, Makalah Pada Seminar pembangunan Hukum Nasional Ke VII, Denpasar, 14 – 18 Juli 2003, h. 10.
[20] Jur A. Hamzah, Kemandirian dan Kebebasan Kekuasaan Kahakiman, Malakah Pada Seminar Hukum Nasional ke VII, denpasar, 14 – 18 Juli, 2003, h. 17.
[21] Lubet, Steven, Judicial Disipline and Judicial Independence, Law and Contemporary Problems, Vol. 61, Nomor 3 Summer, 1998,
[22] Tudung Mulya Lubis dan Mas Achmad Santoso, “Regulasi Ekonomi, sistem yang berjalan baik dan lingkungan Agenda Reformasi hukum di Indonesia”, dalam Arief Budiman, et.al, Harapan dan Kecerdasan Manatap Arah Reformasi Indonesia, Bigraf Publishing, Yogyakrta, 2000, h. 171.
[23] H. Muchsin, Kekuasaan Kahakiman Yang Merdeka dan kebijakan Asasi, Penerbit SRIH Iblam, Jakarta 2004, h. 7.
[24] Ibid.
[25] Aidul Fitriada Azhari, Kekuasaan Kehakiman yang merdeka dan Bertanggung Jawab di Mahkamah Konstitusi: Upaya Menemukan Keseimbangan, Fakultas Hukum UMS, Surakarta, 2005, h. 10.
[26] Harlord See, “Comment Yudicial selection and decrisional Independence”, Law and Contenporary Problems, Vol. 61, No 3, Summer 1998.
[27] Aidul Fitriada Azhari, Op,Cit, h. 14.
[28] F.B William Kelly, An Independence Yudiciary the core of The rule of law, tersedia di www.icclr.ubc.cal/publications/report/anindependence.yudiciary.pdf(deduktif,20mei2009)
[29] H.Muchsin, Op.Cit, h. 10.
[30] Ibid.
[31] Miriam Budiardjo, Op.Cit, h. 151.
[32] S. Tasrif, “Kemandirian Kekuasaan Kehakiman”, editor paul S. Baut dan Luhut M.P Pangaribuan, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Jakarta, 1989, h. 67.
[33] Lihat Pasal 5 ayat 1: Presiden berhak mengajukan Rancangan Undang-Undang Kepada DPR.
[34] Penjelasan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004.
[35] Bagir Manan dan Kuntana Magnar, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara, edisi kedua, alumni, Bandung, 1997, h. 78 – 87.
[36] Salmun dan Sulardi, Hubungan Badan Eksekutif dan Yudikatif, UMM Press, Malang, 2004, h. 110.
[37] Paulus E. Totulung, Kebebasan Hakim dalam Sistem Penegakan Hukum, Makalah pada seminar pembangunan Hukum Nasional VII, Denpasar, 14 – 18 Juli 2003.
[38] Lihat Pasal 24A ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menegaskan bahwa calon hakim agung diusulkan oleh Komisi Yudisial kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden.
[39] Lihat Pasal 24B Ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyebutkan bahwa Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim.
[40] Pasal 14 Ayat 1 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004.
[41] Pasal 22 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004.
[42] Indonesia merupakan Negara ke 78 yang membentuk lembaga Mahkamah Konstitusi. Uraian lengkap menganai Mahkamah Konstitusi di 78 negara dapat dibaca dalam Jimmly Assiddiqie dan Mustafa Fakhri, Mahkamah Konstitusi, kompilasi ketentuan konstitusi, Undang-Undang dan peraturan di 78 negara, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara Indonesia, 2002.
[43] Pasal 24 Ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 hasil amandemen ketiga, menyebutkan bahwa: ‘kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.
[44] Pembahasan secara komprehensif mengenai pengujian konstitusional dapat dibaca dalam Jimly Asshiddiqie, model-model pengujian konstitusional diberbagai Negara, sekretariat jenderal dan kepaniteraan MKRI, Jakarta, mei 2005.
[45] Jimmly Asshiddiqie, Mahkamah Konstitusi Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Makalah sebagai bahan ceramah pada pedidikan sespati dan sespin Polri, Bandung, 19 april 2008.
[46] Mochammad Ali Safa’at, Reformasi dan Perkembangan Hukum Tata Negara, tersedia di http://alisafaat.wordpress.com/2009/02/06perkembanganteorihukum, diakses 20 mei 2009.
[47] Hans Kelsen, General Theory of Law and state, Russell & Russell, New York, 1961, h. 157.